Bisnis.com, JAKARTA - Mengurangi defisit perdagangan dengan China sampai mendekati 0 pada 2024 dinilai pelaku usaha terlalu dini jika hanya mengandalkan ekspor besi dan baja. Indonesia perlu upaya lebih besar untuk memperkecil defisit yang dialami dalam 15 tahun terakhir.
Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani menjelaskan bahwa defisit yang berhasil dikurangi pada 2020 turut dipengaruhi oleh turunnya permintaan impor dari Negeri Panda. Saat itu, industri pengguna bahan baku impor mengalami kontraksi yang dalam.
“Kontraksi impor dari China pada 2020 lebih besar dari pada pertumbuhan ekspor yang diciptakan Indonesia, US$5,2 miliar dibandingkan dengan US$3,8 miliar,” kata Shinta, Kamis (26/8/2021).
Dengan asumsi perekonomian nasional telah pulih pada 2024, Shinta memperkirakan permintaan impor Indonesia dari China bakal jauh lebih tinggi dari pada 2020. Nilai defisit yang harus ditekan Indonesia bakal jauh lebih besar.
“Jika ingin break-even pada 2024, tentu kita harus menciptakan pertumbuhan produktivitas ekspor ke China yang jauh lebih eksponensial lagi,” ujarnya.
Dengan asumsi impor Indonesia dari China pada 2024 akan sama dengan impor pada 2019, Shinta menjelaskan ekspor tahunan ke China harus naik menjadi US$45 miliar pada 2024. Artinya, pertumbuhan ekspor Indonesia ke China harus naik di kisaran US$13 miliar sampai US$14 miliar dalam kurun 3 tahun.
Baca Juga
“Atau minimal naik US$4 miliar per tahun antara 2021 sampai 2024. Ini target yang relatif ambisius untuk dilakukan dalam 3 tahun karena kita masih menghadapi faktor ketidakpastian pada 2022,” tambahnya.
Peningkatan ekspor ke China, lanjutnya, juga tak bisa hanya mengandalkan besi dan baja demi menghindari kontraksi akibat gangguan ekspor pada produk tersebut seperti trade remedies.
Adapun produk-produk yang potensial untuk menambah diversifikasi ekspor ke China mencakup sarang burung walet, buah-buahan tropis, produk turunan minyak sawit, minyak kelapa, kertas, produk perikanan darat, komponen elektronik, permesinan, dan kendaraan bermotor.
“Industri atau sektor usaha yang memiliki output produk tersebut juga ahrus difasilitasi peningkatan daya saing iklim usaha dan investasinya agar lebih efisien dan tidak kehilangan daya saing,” kata dia.