Bisnis.com, JAKARTA – Tren penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik diproyeksi masih tinggi seiring dengan masih terjangkaunya harga produksi listrik yang menggunakan komoditas unggulan itu.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan bahwa batu bara masih menjadi primadona energi yang murah dan mudah didapatkan. Selain itu, Indonesia pun masih memiliki cukup banyak batu bara yang lebih ekonomis untuk dimanfaatkan.
“Meskipun transisi energi di berbagai negara sedang dijalankan, tetapi energi fosil tidak bisa dihilangkan begitu saja,” katanya, Rabu (25/8/2021).
Saat ini, biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sekitar Rp600—Rp800/kwh. Adapun, BPP PLN secara umum per Juni 2021 tercatat Rp1.297/kwh.
Tidak hanya paling murah, pembangkit listrik berbasis batu bara PLN juga masih menjadi yang terbesar atau mencapai 66,81 persen dari total 275 Twh per 2020.
Menurutnya, permintaan batu bara di sejumlah negara masih sangat tinggi. Bahkan, volumenya diperkirakan dapat terus meningkat.
Hal itu sejalan dengan laporan International Energy Agency (IEA) baru-baru ini yang memperkirakan konsumsi batu bara global meningkat 2,6 persen pada 2021, didorong oleh sejumlah negara, seperti China, India, dan Asia Tenggara.
Proyeksi tersebut ditopang oleh pemulihan ekonomi yang terjadi, sehingga ada peningkatan permintaan untuk pembangkit listrik dan industri.
Mamit menjelaskan, singgungan antara transisi energi dan upaya untuk mengoptimalkan batu bara pasti ada. Yang jelas, hal tersebut harus mempertimbangkan mana yang paling menguntungkan bagi masyarakat.
Untuk menyiasati risiko tingginya emisi dari PLTU, kata dia, sudah ada teknologi yang dapat memitigasi hal tersebut, seperti carbon capture, utilization, and storage (CCUS) dan ultra supercritical boiler.
“Memang teknologi ini masih mahal, tapi ke depan sepertinya akan lebih murah dan terjangkau,” pungkasnya.
Adapun, Indonesia saat ini menjadi salah satu produsen dan eksportir utama batu bara di dunia. Pada tahun ini saja produksi ditargetkan mencapai 550 juta ton dengan opsi penambahan 75 juta ton untuk pasar ekspor.
Kemampuan tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang yang cukup dominan dalam industri batu bara global.