Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja ekspor nasional berpotensi terganggu dengan kondisi krisis kontainer yang kini dihadapi pelaku global, khususnya jadwal dan freight ekspor yang menjadi pendongkrak kontrak perdagangan.
Pakar Maritim dari Institut Teknologi Sepuluh November Saut Gurning mengatakan meski kemungkinan besar kinerja ekspor nasional terganggu tetapi tidak akan membatalkan berbagai rencana kontrak pengangkutan lewat laut. Hal itu dikarenakan gejala yang sama terjadi secara meluas di berbagai wilayah layanan rute pelayaran dunia.
“Jadi bagi Indonesia, kepastian ruang muat saja khususnya mungkin ke berbagai wilayah pelabuhan China yang mungkin akan memiliki keterlambatan [delay]. Secara praktis banyak operator pelabuhan rerouting ke pelabuhan terdekat sambil melihat kondisi yang akan terjadi dalam 1 minggu -2 minggu ke depan,” ujarnya, Senin (23/8/2021).
Perlahan tapi pasti, lanjutnya, jika kondisi kongesti dapat segera tertangani lewat penambahan kapasitas jasa di kedua wilayah China- Amerika Serikat (AS) serta ditambah dengan kondisi permintaan-suplai sudah membaik, kemungkinan besar pergerakan tingginya freight kontainer akan kembali turun menuju titik keseimbangan baru. Penurunan tersebut bajak mendekati awal tahun pra-pandemik sekitar US$1.500 – US$2.000.
“Dan banyak yang memprediksi hal itu mungkin baru terjadi pada awal 2022,” imbuhnya.
Saut memaparkan, secara secara makro trayektori perkembangan permintaan dan suplai kontainer dunia sudah membaik. Dalam banyak laporan dunia, sebutnya, ada permintaan yang menaik 2-3 persen dibandingkan dengan pada tahun lalu untuk angkutan kontainer. Tak hanya itu, sambungnya, ketersediaan kapasitas kapal juga cukup stabil bahkan naik dengan bertambahnya unit dan kapasitas yang tersedia di pasaran.
Baca Juga
Saut juga menyebut ketersediaan kontainer kosong di berbagai pelabuhan utama dunia mulai membaik secara umum di atas angka index 0,52-0,55 secara global menurut CaX per minggu lalu.
Namun, tekannya memang ada gejala pendek yang menimbulkan lonjakan tarif ocean freight yakni berbagai kongesti yang ada di AS dan China. Khususnya di sejumlah Pelabuhan utama dan penting di yakni Yantian Port dan California port dan menjalar ke berbagai tempat termasuk di Terusan Suez.
Menurut analisanya yang menjadi pemicu awal kelangkaan tersebut adalah bangkitnya permintaan kontainer China AS akibat adanya perbaikan kondisi Covid-19 di kedua lokus raksasa ekonomi dunia sekaligus permintaan angkutan kontainer dunia. Secara rerata, sebutnya, permintaan kedua wilayah ini minimal terjadi peningkatan 4 persen -5 persen.
“Kenaikan ini mungkin lebih cepat dari level suplai terpasang baik alat bongkar-muat, angkutan darat dan kereta api serta kapasitas ruang muat kapal. Namun, sudah ada respon kenaikan kapasitas ruang kapal yang semakin baik termasuk dukungan logistik di wilayah asal dan sumber barang di kedua wilayah penentu dunia saat ini,” jelasnya.
Secara akumulatif. sambungnya, peningkatan kongesti juga kemudian berimbas mengurangi kapasitas ruang muat operator liner dunia walau tidak lebih 3 persen - 5 persen. Angka itu menurut berbagai catatan Drewry atau lembaga pemonitor indeks kontainer dunia lainnya. Selain itu, dampak operasionalnya memang ada sedikit penurunan kapasitas angkut di berbagai rute dunia akibat tersangkutnya berbagai kapal dunia di dua wilayah penting China dan AS saat itu.