Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IMEF: Pemerintah Perlu Susun Peta Jalan Baru Transisi Energi

Pemerintah dinilai perlu menyiapkan peta jalan transisi energi nasional yang baru di tengah upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Asap membubung dari cerobong-cerobong asap sebuah pabrik pemanas di Jilin, China/Reuters
Asap membubung dari cerobong-cerobong asap sebuah pabrik pemanas di Jilin, China/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Mining Energy Forum (IMEF) menilai pemerintah perlu menyusun peta jalan baru transisi energi nasional agar realisasi target penurunan emisi karbon di sektor energi tidak meleset dan ancaman disrupsi ekonomi dapat dihindari.

Ketua IMEF Singgih Widagdo mengatakan, revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menjadi titik krusial dalam transisi energi di tengah upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi karena posisinya sebagai peta jalan utama.

"Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional yang terakhir disusun pada 2017 masih berorientasi pada energi fosil. Hal ini ditandai dengan porsi minyak dan gas bumi, serta batu bara mencakup 77 persen porsi bauran energi nasional di 2025. Sedangkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) hanya 23 persen. Hingga 2050 pun, porsi energi fosil masih dominan, yaitu 69 persen, sementara porsi EBT hanya naik menjadi 31 persen," ujar Singgih, dikutip dari siaran pers, Kamis (19/8/2021).

Oleh karena itu, KEN dan RUEN yang seharusnya menjadi dasar kebijakan energi sudah tidak prospektif sebagai peta jalan untuk mencapai target emisi karbon.

Singgih menuturkan, upaya terobosan pemerintah melalui Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) perlu diapresiasi. Namun, karena GSEN tidak termasuk dalam nomenklatur perundangan, perlu diformalkan atau diadopsi substansinya ke dalam revisi KEN dan RUEN.

IMEF mencatat setidaknya ada empat poin penting yang perlu dipertimbangkan sebagai masukan kepada pemerintah dalam revisi KEN dan RUEN. Pertama, kompatibilitas dengan target Persetujuan Paris. Kedua, keseimbangan antara ketahanan energi, ekuitas energi, dan keberlanjutan lingkungan.

Lalu ketiga, pengelolaan sumber daya energi fosil (migas, batu bara) sebagai modal pembangunan, bukan lagi sekadar sumber penerimaan negara. Keempat, kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju pertumbuhan ekonomi rendah karbon.

"Catatan lainnya adalah sumber energi, baik fosil maupun terbarukan, dalam periode transisi tersebut harus saling menopang, bukan saling meniadakan dalam peta jalan transisi energi nasional. Porsinya dalam bauran energi nasional harus merepresentasikan perannya di setiap tahap peralihan," kata Singgih.

Ahli Geologi IMEF Andang Bachtiar mengatakan, cara berpikir sumber daya energi fosil sebagai sumber penerimaan negara masih melekat kuat di pemerintah. Bentuk ambigu yang paling jelas adalah angka produksi minyak dan gas bumi maupun harga patokan Indonesia Crude Price (ICP) masih tetap digunakan sebagai indikator utama dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Padahal dengan cadangan gas yang 2-3 kali lipat daripada cadangan minyak bumi, dan emisi karbon yang dihasilkan lebih rendah, gas bumi dapat berperan sebagai jembatan transisi energi.

“Bagaimana agar potensi gas bumi yang besar itu bisa direalisasikan, di sinilah pentingnya paradigma energi sebagai modal dasar pembangunan, bentuknya dalam insentif pengembangan lapangan maupun membangun infrastruktur gas seperti pipa regional dan terminal regasifikasi,” kata Andang.

Contoh lainnya terjadi pada pertambangan batu bara. Singgih menyampaikan skala sektor batu bara Indonesia sangat besar dari sisi volume. Realisasi produksi selalu melampaui target karena ada kebutuhan devisa negara dan permintaan pasar di luar negeri. Sebesar 75 persen produksi batu bara diekspor dengan pasar utama China dan India, sedangkan pasar domestik menyerap 25 persen untuk kebutuhan pembangkit.

Dengan rencana phasing out pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), tak hanya berdampak pada permintaan pasokan batu bara. Kebijakan transisi energi perlu memperhitungkan kondisi industri pertambangan yang telah terbangun, menyiapkan daerah yang menempatkan kepentingan pertambangan batubara untuk pendapatan asli daerah, penyerapan tenaga kerja, maupun kebutuhan manufaktur dalam mendapatkan kepastian energi kelistrikan.

Tak dipungkiri peluang dan permintaan kelistrikan yang bersumber pada energi hijau sangat besar. Kemudahan dalam memperoleh suplai energi terbarukan menjadi salah satu pertimbangan utama investasi dari luar negeri dalam menentukan lokasi investasi. Hal tersebut merupakan bentuk antisipasi kemungkinan kebijakan fundamental cross-border tariff yang akan diambil oleh negara seperti China dan Uni Eropa. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi masuknya produk yang mengandung emisi tinggi ke negara tersebut.

Potensi sumber terbarukan seperti panas bumi dan tenaga surya yang sangat besar, berpeluang untuk mengisi peluang dan permintaan kelistrikan tersebut. Untuk itu diperlukan kebijakan dan regulasi kelistrikan dalam hal reformasi tarif energi yang merefleksikan biaya sebenarnya (biaya externalitas, full fuel cost, dan tingkat margin yang wajar, restrukturisasi industri kelistrikan, termasuk diantaranya restukturisasi PLN dan membuka grid service lainnya, tegas melakukan moratorium PLTU baru dan phase-down PLTU yang tidak efisien.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper