Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah perlu menyeimbangkan kebijakan fiskal pada rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2022. Program yang ada harus mampu mendorong ekonomi tetapi juga menjaga keuangan secara hati-hati.
Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa RAPBN 2022 yang dibacakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi kemarin, Senin (16/8/2021) menggambarkan optimisme pemerintah menghadapi tahun 2022.
Tahun depan, perekonomian diproyeksikan membaik sejalan dengan kondisi pandemi dan pulihnya aktvitas ekonomi. Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2022 sekitar 5–5,5 persen.
Menurut Fajry, hal tersebut bukan mengada-ngada. Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) lebih optimistis memproyeksikan ekonomi Indonesia bakal tumbuh 5,9 persen.
“Tentunya, dengan perbaikan kondisi ekonomi ada harapan perbaikan kondisi fiskal terutama kinerja penerimaan perpajakan. Namun demikian, kita harus sadari bahwasanya pandemi ini memberikan ketidakpastian. Perlu skenario akan kondisi terburuk di tahun 2022,” katanya melalui pesan instan, Selasa (17/8/2021).
Dalam RAPBN, pemerintah menetapkan defisit anggaran 4,85 persen dari produk domestik bruto (PDB). Fajry melihat pemerintah perlu berhati-hati mengingat telah berkomitmen untuk mengurangi tingkat utang negara hingga 9,7 persen.
Baca Juga
Dengan angka 4,85 persen tahun depan, harapannya defisit di bawah 3 persen bisa tercapai pada 2023. Akan tetapi hal ini terlalu optimistis. Tanpa adanya reformasi perpajakan yang masif dan menyeluruh, Fajry yakin target tersebut tidak akan terpenuhi.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengesahkan dan mengimplementasikan rancangan undang-undang (RUU) Perpajakan pada 2023 agar konsolidasi fiskal dapat dilakukan.
Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi pada 2023 kemungkinan besar tak akan setinggi tahun depan. Tentunya ini akan memberatkan target konsolidisasi dari segi PDB maupun potensi penerimaan yang dapat digali.
Jika tak ada reformasi besar-besaran pada 2023, tambah Fajry, peningkatan efektivitas pengeluaran menjadi krusial untuk mencapai target konsolidasi fiskal. Dengan peningkatan efektivitas, maka daya dorongnya bagi ekonomi akan lebih besar.
“Namun kami melihat, bergantung pada peningkatan efektivitas pengeluaran saja tak akan mampu mencapai target konsolidasi fiskal tahun 2023,” jelasnya.