Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mantan Menkeu Bilang Harga PCR Mahal, Tak Terjangkau untuk Pekerja Upah Rp3 Juta

Tes PCR merupakan salah satu upaya untuk menangani pandemi Covid-19. Pemerintah dinilai mesti mengejar peningkatan pengetesan dengan menjamin harga tes PCR yang terjangkau untuk semua kalangan.
Petugas mengambil sampel lendir saat Tes PCR di Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) Undip Semarang, Rabu (22/4/2020). Foto: Istimewa
Petugas mengambil sampel lendir saat Tes PCR di Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) Undip Semarang, Rabu (22/4/2020). Foto: Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Menteri Keuangan yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama PT Bank Mandiri Tbk. Chatib Basri menilai harga tes polymerase chain reaction atau PCR yang berlaku di Indonesia saat ini masih terlalu mahal.

Harga tes dengan kisaran Rp900.000 itu disebut-sebut tidak dapat terjangkau untuk masyarakat dengan upah Rp 3 juta per bulan.

“Saya mengatakan misalnya kalau kita fokus ke kesehatan, PCR tidak bisa semahal sekarang. Harganya sekitar Rp900.000 kalau upah minimum Rp 3 juta, enggak mungkin itu. Sangat exspensive. Negara harus masuk,” ujar Chatib dalam webinar bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia di Oslo, Ahad, 15 Agustus 2021.

Tes PCR merupakan salah satu upaya untuk menangani pandemi Covid-19. Pemerintah dinilai mesti mengejar peningkatan pengetesan dengan menjamin harga tes PCR yang terjangkau untuk semua kalangan.

Kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Kementerian Kesehatan menurunkan harga tes PCR berada di kisaran Rp450.000 - Rp550.000. Presiden mengatakan bahwa untuk memperbanyak testing adalah dengan menurunkan harga tes PCR. Saat ini harga tes PCR bervariasi antara Rp900.000 hingga Rp1 juta ke atas.

"Saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan [Budi Gunadi Sadikin] mengenai hal ini. Saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran antara Rp450.000 - Rp550.000," katanya melalui kanal YouTube Setpres, Minggu (15/8/2021).

Dalam kesempatan yang sama, Chatib mengatakan percepatan vaksinasi juga penting agar negara segera lepas dari masalah Covid-19. Vaksinasi, pengetesan, hingga pelaksanaan protokol kesehatan ini berdampak terhadap pola pemulihan ekonomi.

Chatib mengungkapkan pola pemulihan ekonomi yang terjadi di negara maju dan berkembang berbeda. Negara maju dengan akses vaksin yang lebih cepat dan protokol kesehatan ketat biasanya memiliki pola pemulihan ekonomi V Shape atau slope.

“Ada perbedaan pemulihan ekonomi negara maju yang memiliki akses vaksin dengan negara berkembang atau yang tidak menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Negara maju yang menjalankan protokol kesehatan ketat, pemulihan ekonomi membentuk shape berbentuk V,” ujar Chatib.

Sementara itu untuk negara berkembang yang umumnya memiliki masalah terhadap akses vaksinasi dan protokol kesehatan, pola pemulihan ekonominya membentuk huruf L, swoosh atau seperti logo Nike, atau W. Pola L memungkinkan suatu negara memiliki pertumbuhan ekonomi yang stagnan.

Sedangkan untuk swoosh, pola pemulihan ekonomi suatu negara melandai atau turun, kemudian meningkat kembali, namun lambat. Adapun untuk pola W, biasanya negara mengalami pemulihan ekonomi dengan kurva pertumbuhan yang sempat meningkat, namun kembali menurun dan selanjutnya naik lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Sumber : Tempo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper