Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah perlu mempertimbangkan konsumen hingga badan usaha milik negara, dalam penerapan kebijakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.
Hal tersebut diperlukan untuk menjaga keberlanjutan rantai bisnis di sektor ketenagalistrikan.
Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies Ali Achmudi Achyak mengatakan bahwa rancangan Permen ESDM tentang PLTS Atap sebagai pengganti Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 diharapkan dibahas dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.
Dari sisi konsumen listrik, khususnya rumah tangga, selama ini menjadi konsumen murni yang menggunakan listrik dari PLN dan membayar sesuai tarif yang berlaku sesuai peruntukan.
“Ketergantungan sektor rumah tangga terhadap PLN sangat tinggi, maka ketika terjadi gangguan, seperti blackout, kerusakan jaringan, dan lainnya, bisa sangat merugikan. Ketergantungan berlebihan terhadap satu pemasok listrik ini tentu tidak sehat bagi kelangsungan bisnis,” katanya, dalam keterangan tertulis, Senin (16/8/2021).
Oleh karena itu, menurut Ali, peluang adanya PLTS Atap akan menghadirkan sedikitnya dua manfaat bagi konsumen, yaitu mengurangi ketergantungan total pada listrik PLN dan memproduksi listrik yang sisanya bisa dijual untuk menambah pemasukan atau setidaknya mengurangi biaya listrik.
Baca Juga
Dia menambahkan, adanya pergerakan konsumen murni menjadi konsumen semi produsen (hibrid) ini positif dan perlu didorong dengan memberikan kepastian hukum yang berujung pada kepastian bisnis yaitu sisa listrik akan terjual.
“Dampaknya pasti besar terhadap minat investasi dari sektor rumah tangga, komersial dan industri,” katanya.
Hanya saja, atas rencana perubahan kebijakan PLTS atap, pihak yang juga bakal terdampak kebijakan PLTS atap adalah PLN.
BUMN di sektor ketenagalistrikan ini adalah aset besar bangsa yang harus dijaga, ditumbuhkan, dan dikembangkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
PLN mengemban dua tugas utama dan mulia, yaitu entitas bisnis (BUMN) dan pelayan publik. Menurutnya, BUMN harus sehat dan untung agar bisa berkontribusi bagi keuangan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Apalagi, salah satu klausul dalam draf permen baru tersebut mengatur tata niaga PLTS Atap, yaitu mewajibkan PLN membeli 100 persen, dari sebelumnya 65 persen, sisa daya yang tidak terpakai oleh konsumen yang ikut mengembangkan PLTS Atap.
SIFAT INTERMITEN
Sebelumnya, Guru Besar Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia Iwa Garniwa mengatakan bahwa meski harga PLTS atap relatif murah, tetapi fasilitas itu bersifat intermiten atau tidak bisa berdiri sendiri.
“Saya kasih contoh, jika tiba-tiba awan lewat maka pasokan turun ke sistem. Lalu siapa yang memikul itu?” ujar Iwa, dikutip dari siaran pers, Minggu (15/8/2021).
Menurutnya, sumber energi dari EBT yang memikul beban kelistrikan di sistem PLN bervariasi, mulai dari PLTA, PLTP, hingga biomassa.
Pemerintah sebaiknya memperkuat sektor tersebut untuk meningkatkan bauran energi. Dia menilai, upaya mendorong pemanfaatan PLTS atap secara masif tidak mempertimbangkan dampak terhadap biaya pokok produksi (BPP) PLN.
Iwa mengumpamakan jika 50 persen rumah di sebuah perumahan menggunakan PLTS atap tanpa baterai, tentu PLN akan menghitung ulang BPP saat akan membangun gardu distribusi di wilayah itu.
“Berapa investasinya dan berapa harapan kWh yang dijual? Lalu 50 persen tadi memakai PLTS atap, energinya diambil. BPP-nya kan mahal, lebih parah dipaksa beli. Ini apa yang terjadi,” katanya.