Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian menilai potensi Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk menjadi lumbung garam industri nasional perlu untuk terus ditingkatkan dengan dukungan pemerintah daerah dan peningkatan lahan produksi garam.
Pasalnya, secara geografis, kondisi alam NTT sangat mendukung untuk hal tersebut. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan bahwa NTT mengalami periode kering hingga 8 bulan per tahun.
Waktu penyinaran matahari di NTT lebih lama dibandingkan beberapa daerah pusat produksi garam nasional. Kombinasi waktu penyinaran lama dan periode hujan pendek membuat NTT unggul dibandingkan daerah lain sehingga produksi akan lebih optimal jika lahan terletak di pantai.
Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin, Fridy Juwono, mengatakan bahwa potensi itu perlu dioptimalkan dengan salah satu caranya menambah luas lahan produksi garam di NTT.
“Kami (Kementerian Perindustrian) sudah ke sana dan melihat produksi maupun hasilnya. Memang bagus,” ujarnya dalam webinar Swasembada Garam Nasional Dari Nusa Tenggara Timur, Kamis (5/8/2021).
Webinar juga dihadiri Bupati Malaka Simon Nahak dan perwakilan Kementerian Koordinator serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, serta para pembicara fokus membahas potensi industrialisasi garam NTT.
Baca Juga
Sejumlah kajian menunjukkan, potensi produksi garam di seluruh NTT sedikitnya 1,4 juta ton per tahun. Adapun lahan yang bisa dipakai mencapai 20.438 hektar.
Kini, baru 10.140 hektar dipakai. Sisanya masih menjadi lahan tidur. Karena itu, perluasan lahan produksi garam amat dimungkinkan.
Fridy mengatakan, penambahan luasan lahan akan membuat garam NTT tidak hanya berkualitas, namun juga membuat garam NTT berkuantitas tinggi dan produktivitasnya bisa dipacu.
Menurutnya, selama ini persoalan kuantitas dan kualitas garam menjadi sebagian faktor pemicu impor garam industri. Fakta kebutuhan garam industri mencapai 85 persen dari kebutuhan nasional menyebabkan impor pun tinggi.
Industri CAP membutuhkan paling banyak dengan tingkat kemurnian paling tinggi. Selanjutnya ada pertambangan dan makanan minuman yang juga membutuhkan garam industri.
Kebutuhan garam industri menjadi salah satu penyebab Indonesia masih harus terus mengimpor garam. Meskipun menurut Fridy, impor garam tidak hanya dilakukan Indonesia.
Amerika Serikat memproduksi garam rata-rata 42 juta ton per tahun. Meski demikian, setiap tahun AS masih mengimpor rata-rata 17 juta ton. Impor garam AS terutama dipakai untuk mencairkan es di berbagai jalan dan fasilitas publik selama musim dingin.
Sementara Bupati Malaka Simon Nahak mengatakan, Malaka dan beberapa penghasil garam di NTT tidak hanya membutuhkan investasi di sektor produksi garam saja. Namun juga butuh investor untuk pengolahan garam lebih lanjut agar kualitas membaik dan benar-benar memenuhi kebutuhan industri tertentu. “Soal itu, kami percayakan kepada investor,” kata dia.
Ia meyakini, kehadiran investasi industri garam akan mendatangkan manfaat besar bagi Malaka dan daerah penghasil garam lain di NTT.
Menurutnya, selain meningkatkan potensi pajak daerah, investasi memberi peluang peningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di Malaka, lahan produksi menggunakan skema kerja sama antara warga dengan investor.
Dengan demikian, kata dia, lahan tetap dimiliki warga sementara investor tetap bisa memanfaatkannya