Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dan China tinggal selangkah lagi meninggalkan penggunaan dolar Amerika Serikat dalam transaksi perdagangan, seiring dengan diselesaikannya aturan teknis pelaksanaan kesepakatan local currency settlement (LCS). Namun, masih terdapat sejumlah tantangan dalam pelaksanaan ke depan.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri mengatakan kesepakatan LCS dijalin untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dalam transaksi perdagangan. Penggunaan LCS diharapkan juga bisa menghasilkan efisiensi dalam transaksi karena pelaku usaha tidak perlu melakukan konversi mata uang berkali-kali.
“Lalu tujuannya untuk meningkatkan exposure mata uang itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui yang kita lihat adalah pergerakan terhadap dolar Amerika Serikat,” kata Kasan, Kamis (5/8/2021).
Kasan mengatakan LCS dengan China menjadi penting karena negara tersebut merupakan mitra dagang utama RI. Volume perdagangan Indonesia dan China tercatat terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Data Kemendag memperlihatkan bahwa total perdagangan kedua negara mencapai US$48,08 miliar sepanjang semester I/2021.
China juga menjadi destinasi ekspor utama dengan pangsa mencapai 21,82 persen dari total ekspor Indonesia. Negara tersebut juga menjasi pemasok bahan baku dan penolong terbesar bagi RI sehingga menjadi negara asal impor terbesar dengan pangsa sebesar 25,63 persen.
“Meski kita masih defisit dengan China pada 2020, tetapi defisit kita berhasil berkurang hampir separuhnya dibandingkan dengan 2019,” tambahnya.
Baca Juga
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan maupun investasi regional diperlukan untuk mengurangi dominasi dolar AS dan mengurangi dampak kebijakan moneter serta keuangan AS. Dia memberi contoh pada kasus krisis finansial global pada 2008 yang langsung membuat rupiah terdepresiasi.
Di sisi lain, Faisal mengatakan bahwa fluktuasi nilai tukar renminbi China dan rupiah cenderung lebih kecil. Hal ini bisa mempermudah perdagangan karena mengurangi exchange cost.
Namun, dia memberi catatan bahwa penggunaan mata uang lokal juga melibatkan rupiah. Berkaitan dengan ini, rupiah berisiko memiliki daya tarik yang lebih kecil karena struktur ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas jika dibandingkan dengan produk manufaktur.
“Ekspor ke China hampir 70 persen dalam bentuk komoditas. Trennya memang membaik. Namun di sisi lain impor dari China didominasi produk manufaktur. Dari sisi tawar penggunaan renminbi bisa lebih kuat karena mereka menguasai ekspor dengan nilai tambah lebih besar,” kata dia.
Dia juga berpendapat bahwa performa perdagangan Indonesia berpotensi makin bergantung pada perekonomian China jika penggunaan uang lokal terus meningkat. Integrasi ekonomi antara Indonesia dan China melalui perdagangan juga bisa makin dalam ke depannya.
“Jika China mengalami krisis keuangan, akan menyebar dengan cepat ke Indonesia,” kata Faisal.
Karena itu, dia mengatakan Indonesia perlu meningkatkan ekspor produk manfaktur dengan nilai tambah tinggi agar dapat lebih besar dalam perdagangan dunia. Dengan demikian, posisi tawar yang lebih kuat terhadap China maupun mitra dagang lainnya bisa makin kuat.