Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan bahwa penggunaan dolar Amerika Serikat masih mendominasi transaksi perdagangan internasional Indonesia dengan mitra dagang.
Penggunaan mata uang lokal urung menarik minat meski Bank Indonesia telah menjalin kesepakatan local currency settlement (LCS) dengan beberapa negara.
Indonesia tercatat telah menyepakati LCS dengan Malaysia, Thailand, dan Jepang sejak beberapa tahun lalu. Sementara itu, kesepakatan LCS terbaru dengan China tengah difinalisasi seiring dengan rampungnya penunjukkan bank pelaksana dan aturan teknis.
Ketua Bidang Perdagangan Apindo Benny Soetrisno mengatakan penggunaan uang lokal dalam transaksi dengan negara tersebut cemderung masih kecil, seiring dengan likuiditas mata uang yang rendah.
Dia juga mengatakan penentuan harga antara penjual dan pembeli sulit tercapai karena minimnya direct quotation antarmata uang.
“LCS dengan Malaysia dan Thailand ini masih belum terlihat hasilnya di lapangan. Pengusaha masih menginginkan dolar karena hegemoni dolar masih dianggap belum turun. Artinya semua negara beranggapan devisa itu menggunakan dolar,” kata Benny dalam diskusi daring, Kamis (5/8/2021).
Baca Juga
Berdasarkan data Bank Indonesia, penggunaan mata uang selain dolar AS memang masih kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan transaksi perdagangan internasional RI. Sebagai contoh, denominasi yen Jepang pada 2020 berada di level 1,1 persen, turun dibandingkan dengan 2019 yang berjumlah 1,2 persen. Sementara penggunaan dolar AS mencapai 93,8 persen pada 2020.
Sementara itu, data Bank of Thailand menunjukkan bahwa penggunaan baht dalam impor dari Indonesia pada kuartal II/2018 berada di angka 7,9 persen dan penggunaan rupiah untuk impor Negeri Gajah Putih hanya 0,3 persen.
Benny juga mengatakan bahwa mitra perdagangan juga lebih memberikan preferensi pada dolar AS, alih-alih mata uang lokal. Kewajiban pembayaran utang juga masih membutuhkan dolar juga menjadi pertimbangan berlanjutnya penggunaan mata uang Negeri Paman Sam.
“Mekanisme perdagangan masih dilakukan secara cross-rate sehingga yang terbentuk tidak efisien. Kondisi ini dapat menjadi insentif bagi pengembangan LCS yang memungkinkan mekanisme perdagangan langsung yang lebih efisien," tambah Benny.
Meski demikian, Benny mengatakan pelaku usaha cukup antusias dengan rencana LCS dengan China. Negara tersebut merupakan mitra ekspor dan impor terbesar RI sehingga frekuensi transaksi cenderung lebih besar.
Karena itu, Apindo berharap agar Bank Indonesia memberikan fasilitas renminbi atau rupiah baik melalui direct deal maupun lelang. Bank sentral juga diminta memasang harga komparatif swap renminbi dan rupiah sebagai tenor.
“Apindo siap menggunakan renminbi sebagai mata uang utama untuk transaksi perdagangan internasional dengan China. Kami juga akan mensyaratkan mitra perdagangan untuk menggunakan renminbi dalam quotation perdagangan,” kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Corporate Marketing Director of Bank of China Handojo Wibawanto berpandangan rendahnya pemanfaatan LCS dengan Malaysia atau Thailand lebih disebabkan oleh frekuensi perdagangan yang tidak setinggi perdagangan antara Indonesia dan China.
“Kalau melihat dari sisi perdagangan, kami meyakini LCS dengan China akan lebih banyak menarik minat dari pelaku usaha dari kedua negara,” kata Handoyo.