Bisnis.com, JAKARTA – Sektor manufaktur Indonesia mengalami kontraksi pada Juli 2021 akibat peningkatan kasus Covid-19, sehingga mengharuskan adanya PPKM level 4 yang membatasi mobilitas masyarakat.
Kontraksi ditunjukkan melalui Indeks Manajer Pembelian Manufaktur atau Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh IHS Markit, jatuh ke level 40,1 pada Juli 2021 dari posisi 53,5 pada Juni 2021.
Kontraksi tersebut menjadi kontraksi pertama untuk manufaktur Indonesia dalam sembilan bulan, dan dengan tingkat penurunan tercepat sejak Juni 2020.
Meski begitu, Direktur Center of Law and Economics Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut masih ada potensi bagi PMI untuk rebound pada Agustus 2021, tentunya tergantung pada kondisi penanggulangan kasus Covid-19 yang belum mereda sepenuhnya.
Bhima mengatakan jika PPKM level 4 diperpanjang dan kasus harian Covid-19 secara nasional masih menunjukkan peningkatan, maka produksi manufaktur akan terganggu.
“Ini bergantung dari kapan pelonggaran PPKM dilakukan. Jika PPKM diperpanjang dan kasus harian secara nasional masih meningkat, maka produksi manufaktur akan terganggu. Industri pun melihat perkembangan konsumsi dalam negeri sebagai indikator utama pembelian bahan baku,” jelas Bhima kepada Bisnis, Senin (2/8/2021).
Baca Juga
Adapun, harapan untuk rebound, kata Bhima, adalah terutama bagi industri yang berorientasi pada kegiatan perdagangan luar negeri atau ekspor. Namun, dia mengingatkan bahwa harapan tersebut juga masih memiliki risiko berupa gangguan pasokan yang terjadi akibat pembatasan sosial kembali di negara mitra dagang.
Bhima memperkirakan potensi rebound bagi sektor manufaktur pada Agustus 2021 tidak akan langsung drastic mencapai posisi semula.
“Vietnam PMI nya pun ikut turun di Juli. Potensi rebound Agustus harapannya bisa ke level 45-49 saja sudah bagus,” tuturnya.
Di sisi lain, kinerja ekspor Juli diperkirakan akan bergantung pada kinerja manufaktur yang kini melambat. Apalagi, kontribusi sektor industri terhadap total ekspor adalah hampir sebesar 80 persen, atau tepatnya 78,8 persen, menurut Kementerian Perindustrian.
“Pasti ada dampaknya ke surplus dagang,” pungkas Bhima.