Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani belum lama ini menjadi pembicara dalam ESG Capital Market Summit 2021. Dalam kesempatan tersebut dia menegaskan kembali komitmen pemerintah yang akan mulai mencanangkan pajak karbon sebagai upaya penanganan perubahan iklim.
Merespon hal tersebut, pelaku industri tekstil hulu hingga hilir kompak menolak.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman menilai pengenaan pajak karbon tersebut kurang tepat jika dibebankan kepada industri dalam negeri. Hal ini akan berimbas pada daya saing industri tekstil terhadap gempuran produk impor.
“Industri dalam negeri akan tersiksa. Biaya beban kerja akan naik seiring dengan pemberlakuan pajak karbon yang diterapkan oleh pemerintah. Pengaruh tersebut akan berimbas pada kenaikan harga produk tekstil sebesar 20 persen,” kata Rizal kepada Bisnis.com, Kamis (29/07/2021).
Rizal juga menjelaskan bahwa industri tekstil menghasilkan emisi karbon dalam proses produksinya. Proses polimerisasi pada industri hulu dan penggunaan batu bara di masing-masing pembangkit listrik industri akan terkena dampaknya.
Menurut Rizal jika tujuannya untuk mengurangi emisi karbon dengan menggunakan instrumen pajak, maka skema tersebut salah besar.
Baca Juga
Pasalnya, industri juga dituntut untuk menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, sedangkan investasi teknologi itu mahal dan memerlukan waktu untuk mengadopsi teknologi tersebut.
Dia juga menerangkan pajak karbon memiliki efek domino. Perusahaan listrik, minyak dan gas dalam negeri juga akan merasakan dampaknya dari pajak karbon ini. Kenaikan biaya listrik, minyak dan gas akan dibebankan kepada pelaku usaha dan masyarakat.
"Pajak karbon ini perlu dikaji kembali oleh pemerintah. Kenaikan harga minyak, gas dan listrik juga tidak dapat dihindari kalau pajak karbon ini benar-benar diterapkan,” ujar Rizal.