Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah telah mengubah aturan terkait dengan pajak ekspor produk kelapa sawit. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 76/PMK.05/2021 tentang Perubahan Kedua Atas PMK No. 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Adapun, Kementerian Keuangan menyebut dasar pertimbangan penyesuaian tarif layanan pungutan ekspor adalah untuk meningkatkan daya saing produk kelapa sawit Indonesia di pasar internasional, dengan tetap memerhatikan kesejahteraan petani kelapa sawit.
Penyesuaian yang dilakukan merupakan tindak lanjut keputusan Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan anggota Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri ESDM, Menteri BUMN, dan Menteri PPN/Kepala Bappenas.
Besaran tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit termasuk Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya, ditetapkan berdasarkan harga referensi Kementerian Perdagangan dengan cut-off perhitungan pungutan tarif yaitu tanggal penerbitan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
“Pengenaan tarif baru tersebut mulai berlaku 7 hari setelah diundangkan pada 25 Juni 2021 (mulai berlaku pada 2 Juli 2021),” tulis Kemenkeu dalam siaran pers yang dikutip Bisnis, Selasa (29/6/2021).
Sesuai perubahan tersebut, batas pengenaan tarif progresif CPO dirubah dari semula pada harga US$670/MT menjadi US$750/MT. Apabila harga CPO di bawah atau sama dengan US$750/MT, maka tarif pungutan ekspor tetap, yaitu misalnya untuk tarif produk crude adalah sebesar US$55/MT.
Baca Juga
“Selanjutnya, setiap kenaikan harga CPO sebesar US$50/MT, maka tarif pungutan ekspor naik sebesar US$20/MT untuk produk crude, dan US$16/MT untuk produk turunan sampai harga CPO mencapai US$1000. Apabila harga CPO di atas US$1000, maka tarif tetap sesuai tarif tertinggi masing-masing produk,” jelas Direktur Utama BPDPKS Eddy Aburrachman dalam siaran pers.
Lalu, perubahan tarif pada beleid tersebut mengatur kewajiban pungutan ekspor dan bea keluar secara ad valorem turun menjadi maksimal 30 persen dari harga CPO, dari semula sebesar maksimal 36,4 persen dari harga CPO. Penurunan tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk kelapa sawit di pasar internasional.
Penyesuaian tarif pajak ekspor juga tetap memerhatikan dukungan terhadap keberlanjutan layanan BPDPKS, khususnya dalam peningkatan kualitas dan kuantitas pelaksanaan program pengembangan SDM, penelitian dan pengembangan, peremajaan sawit rakyat, sarana dan prasarana, promosi, dan insentif biodiesel.
Di samping itu, Kemenkeu mengklaim bahwa penerapan pungutan ekspor di 2020 dan 2021 terbukti tidak menyebabkan penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani. Kemenkeu mencatat harga TBS di tingkat petani mengikuti kenaikan harga CPO, di mana pada periode Januari-Mei 2021, rata-rata harga TBS di tingkat petani adalah di atas Rp2.000/Kg.
“Selain itu, Pemerintah tetap berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat. Upaya ini dilakukan dengan mengalokasikan dana peremajaan perkebunan kelapa sawit untuk 180.000 hektar lahan per tahun, dengan alokasi dana untuk tiap hektar lahan yang ditetapkan sebesar Rp30.000.000/Ha,” demikian ditulis dalam siaran pers.