Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo berharap produk berorientasi ekspor seperti minyak goreng kemasan bisa menjadi pertimbangan untuk pengenaan tarif pungutan ekspor yang lebih rendah. Dengan demikian, volume ekspor minyak goreng kemasan ke kawasan yang potensial seperti Afrika bisa didorong dan ditingkatkan.
“Kami harap untuk produk yang berorientasi ekspor bisa dipertimbangkan untuk tarif yang lebih rendah. Levy yang rendah akan mendorong daya saing produk kita, terutama untuk destinasi yang membutuhkan produk langsung konsumsi. Dengan demikian,daya saing produk minyak goreng kemasan tujuan ekspor kita lebih bersaing dari pada Malaysia,” kata Bernard, Selasa (29/6/2021).
Adapun saat ini sebagian besar ekspor produk minyak sawit Indonesia tercatat didominasi oleh produk hilir. Meski pangsa Indonesia di pasar global masih mendominasi, Bernard mengatakan Indonesia masih menghadapi tantangan, terutama dari sisi produk kemasan.
Sementara itu, pemerintah telah merevisi pungutan ekspor (PE/levy) yang dikenakan pada produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) beserta turunannya.
Lewat penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 76/PMK.05/2021 tentang Perubahan Kedua atas PMK No. 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, pemerintah secara resmi mengubah batas pengenaan tarif progresif dari semula pada harga CPO US$670 per ton menjadi US$750 per ton.
Saat harga CPO di bawah atau sama dengan US$750 per ton, maka tarif pungutan ekspor ditetapkan sebesar US$55 per ton untuk produk CPO. Selanjutnya, setiap kenaikan harga CPO sebesar US$50 per ton akan diikuti dengan kenaikan tarif pungutan sebesar US$20 per ton untuk produk CPO dan US$16 per ton untuk produk turunan sampai harga CPO mencapai US$1000 per ton.
Kenaikan tarif ini lebih rendah dibandingkan aturan terdahulu di mana setiap kenaikan harga CPO US$25 ton akan diikuti dengan kenaikan tarif sebesar US$25 per ton untuk produk hulu. Sementara produk hilir dikenai kenaikan tarif sebesar US$12,5 per ton.
Meski perbedaan besaran kenaikan tarif antara produk hulu dan hilir lebih sempit, pemerintah tercatat tetap mempertahankan selisih tarif total sebesar US$20 per ton antara produk hulu dan hilir. Sebagai contoh, tarif dasar untuk CPO pada kolom pertama tetap dipatok US$55 per ton dan untuk produk refined, bleached, and deodorized (RBD) palm oil sebesar US$35 per ton.
Wakil Menteri Perdagangan periode 2011–2014 sekaligus ekonom pertanian dari IPB University Bayu Krisnamurthi mengatakan struktur ekspor CPO dan upaya penghiliran bisa tetap terjaga selama selisih pungutan antara produk hulu dan hilir sebesar US$20 per ton tidak diubah.
“Struktur ekspor seharusnya tidak berubah. Bahkan saat crude naik US$20, refined naik US$16 per ton. Masih lebih besar kenaikan untuk produk mentah,” kata Bayu.