Bisnis.com, JAKARTA – Pemakaian minyak jelantah atau minyak sisa penggorengan untuk kebutuhan konsumsi pangan masih marak ditemui meski produk ini berbahaya bagi kesehatan. Pemerintah mendorong penggunaan produk sisa ini untuk kebutuhan nonpangan, salah satunya untuk bahan baku biodiesel.
Mengutip hasil pendataan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Traction Energi Asia, Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan rata-rata konsumsi minyak goreng pada 2019 mencapai 16,2 juta kiloliter (kl).
Dari jumlah tersebut, volume minyak jelantah yang terdata secara nasional pada tahun yang sama mencapai 3 juta kl dan 1,6 juta kl di antaranya berasal dari rumah tangga perkotaan besar.
Adapun berdasarkan survei Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dan Badan Pusat Statistik (BPS), dari 3 juta kl minyak jelantah tersebut hanya kurang dari 570.000 kl yang digunakan untuk memproduksi biodiesel maupun kebutuhan lain.
"Penggunaan minyak jelantah paling besar adalah untuk minyak goreng daur ulang sebesar 1,95 juta ton atau 2,43 juta kiloliter. Itu sekitar 15 sampai 20 persen dari total pangsa pasar minyak goreng," kata Musdhalifah dalam sebuah webinar, Rabu (23/6/2021).
Selain untuk daur ulang, penggunaan minyak jelantah yang cukup besar yakni untuk ekspor. Pada 2019, volume ekspor minyak jelantah sebanyak 148.380 ton atau setara dengan 184.090 kiloliter. Ekspor minyak jelantah Indonesia juga tercatat terus mengalami kenaikan sejak 2014.
“Penggunaan minyak jelantah sebagai minyak goreng tidak disarankan karena proses penggorengan dengan temperatur tinggi itu menyebabkan kerusakan pada struktur kimia. Penggunaan yang tepat harusnya untuk biodiesel, bukan bahan baku industri makanan," lanjutnya.
Dengan asumsi minyak jelantah yang terkumpul secara nasional sebesar 3 juta kl dan konversi 5 liter minyak jelantah bisa menghasilkan 1 liter biodiesel, maka terdapat potensi produksi biodiesel sebesar 600.000 liter.
Terlepas dari adanya potensi tersebut, Musdhalifah mengakui terdapat sejumlah tantangan untuk meningkatkan pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel alih-alih untuk pemakaian ulang konsumsi pangan. Salah satu kendalanya adalah mekanisme pengumpulan minyak jelantah dan logistik dari ke pusat produksi.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Eddy Abdurrachman mengatakan konsumsi minyak goreng di dalam negeri cenderung stagnan.
Hal ini tidak lepas dari faktor penggunaan berulang kali yang sejatinya tidak dianjurkan, padahal konsumsi minyak goreng di dalam negeri bisa memengaruhi serapan dan menjaga stabilisasi harga CPO.
"Beberapa tahun terakhir konsumsi minyak goreng domestik cukup stagnan di level 9 juta ton per tahun. Salah satu sebabnya karena sebagian masyarakat belum menggunakan minyak goreng dengan cara yang dianjurkan atau digunakan berkali-kali," kata Eddy.