Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha ritel modern berisiko kehilangan momentum untuk pulih, seiring dengan kenaikan kasus Covid-19 di berbagai wilayah usai Lebaran. Di tengah kekhawatiran turunnya penjualan, pemerintah diharapkan tidak melakukan pengetatan operasional.
“Setelah Lebaran, memang kunjungan cenderung turun. Namun, setelahnya ada momen semester baru, seperti peringatan hari kemerdekaan yang kami jadikan kesempatan untuk menawarkan pesta diskon agar penjualan meningkat,” kata Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah, Jumat (18/6/2021).
Akan tetapi, proyeksi dan target pemulihan yang telah ditetapkan pelaku usaha itu terancam tidak terwujud.
Budihardjo mengatakan bahwa tingkat kunjungan justru turun lebih dalam dari perkiraan.
Dia menyebutkan kapasitas bisnis hanya berada di kisaran 60 persen dibandingkan dengan situasi sebelum pandemi.
“Sebenarnya kami sedang menjalani proses pemulihan, tetapi kekhawatiran soal kenaikan kasus yang berpotensi berujung pengetatan kebijakan mobilitas bisa membuat kami mengoreksi target yang sebelumnya ditetapkan,” lanjutnya.
Baca Juga
Data Nielsen Retail Audit menunjukkan bahwa sektor ritel modern Indonesia masih tumbuh 1,0 persen pada 2020 atau melambat dibandingkan dengan kenaikan pada 2019 yang mencapai 7,5 persen.
Kenaikan kinerja sektor ritel disumbang oleh performa positif segmen toko kelontong yang tumbuh 4,8 persen, sedangkan toko swalayan dan hypermarket terkontraksi 10,1 persen.
Di sisi lain, asosiasi ritel memperkirakan bisnis ritel modern bisa tetap tumbuh 4,0 sampai 4,5 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Perkembangan vaksinasi dan optimisme belanja kelas menengah atas akan menjadi penentu pertumbuhan pada tahun kedua pandemi.
Vaksinasi jugalah yang dinilai Budihardjo akan menentukan apakah bisnis ritel modern bisa bertahan menghadapi penambahan kasus Covid-19.
Dia mengharapkan agar pemerintah bisa terus mempercepat vaksinasi masyarakat, sekaligus menggelontorkan stimulus demi memperpanjang usaha.
“Kami meyakini pengaturan tidak seketat pada 2020 dan perputaran bisnis tetap berjalan meski kasus meningkat. Namun, ancaman penutupan bisnis merupakan hal yang tak terhindari karena kunjungan yang menjadi penentu penjualan pasti akan terpengaruh juga, karena itu kami harap dukungan dari pemerintah bisa dilanjutkan,” kata dia.
Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengemukakan bahwa fokus kebijakan pemerintah dalam menyeimbangkan penanganan Covid-19 dan roda perekonomian adalah melalui pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Dia pun memastikan bisnis ritel tetap diizinkan beroperasi sesuai dengan kebijakan di tiap-tiap daerah.
“Prinsipnya untuk saat ini yang menjadi prioritas adalah kesehatan melalui PPKM. Operasional bisnis tetap mengacu pada ketentuan PPKM sesuai dengan daerah setempat dan kondisi Covid-19-nya,” kata Oke.
Agar bisnis ritel bisa bertahan, dia mengharapkan agar pelaku usaha untuk melakukan inovasi dan mengikuti perubahan selera serta gaya hidup masyarakat, di antaranya dengan menerapkan strategi omnichannel alias memadukan penjualan daring dan luring, mengidentifikasi lokasi yang strategis sesuai target pasarnya, peningkatan kualitas produk dan layanan, dan mengikuti preferensi konsumen.
“Kami yakni bisnis ritel offline maupun online akan terus tumbuh di Indonesia dan makin banyak yang mengadopsi strategi omnichannel. Menurut data Aprindo sudah 95 persen peritel modern yang bertransformasi atau beralih ke online,” kata dia.