Bisnis.com, JAKARTA - Badan legislatif tertinggi China segera meloloskan undang-undang yang akan memberi dukungan substantif terhadap tindakan balasan atas sanksi yang diterapkan negara barat kepada pejabat dan perusahaan negara itu.
Rancangan undang-undang antisanksi diusulkan pada pertemuan pembukaan Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (NPC) pada Kamis pekan ini dan diperkirakan akan diloloskan pada akhir sesi.
Shi Yinhong, seorang peneliti hubungan Amerika Serikat-China, mengatakan Beijing membutuhkan undang-undang semacam itu untuk memperkuat kemampuannya melawan sanksi asing, pada saat persaingannya dengan Washington dan sekutu tampaknya tidak mereda dan kemungkinan akan berlanjut.
"Setelah undang-undang tersebut [disahkan], kemungkinan sanksi balasan akan meningkat,” kata Shi, dilansir South China Morning Post, Selasa (8/6/2021).
Dia menambahkan bahwa mungkin masih perlu waktu untuk menyelesaikan undang-undang baru agar lebih tepat sasaran dan selaras dengan norma-norma internasional.
Sebelumnya diketahui sejumlah perusahaan China telah menjadi sasaran sanksi AS, termasuk raksasa telekomunikasi Huawei, yang dikenakan pembatasan terhadap rantai pasok komponen utama yang dibuat dengan teknologi AS.
Pengamat China Song Sio-chong, seorang profesor di Pusat Hukum Dasar Hong Kong dan Makau, Universitas Shenzhen, mengatakan dia yakin undang-undang baru akan memungkinkan Beijing untuk mengambil tindakan pembalasan terhadap saingan di Barat.
"Sekarang situasi internasional semakin kritis dan AS sering menyimpang dari hukum internasional dalam berurusan dengan China," kata Song.
Sementara itu, Lau Siu-kai, Wakil Ketua Lembaga Pemikir semi-resmi Asosiasi China untuk Studi Hong Kong dan Makau, mengatakan Beijing berusaha mengejar saingan Baratnya dalam undang-undang yang terkait dengan pengenaan sanksi internasional.
"AS memiliki semua jenis undang-undang, seperti Undang-Undang Magnitsky, untuk menjatuhkan sanksi dan menyita atau membekukan properti individu, jadi sekarang China juga ingin meningkatkan peralatannya,” katanya.
Sejak pengesahan undang-undang keamanan nasional tahun lalu, Hong Kong telah menjadi sasaran sanksi asing. Washington memberi sanksi kepada pemimpin Hong Kong Carrie Lam dan beberapa menteri senior lainnya bersama dengan kepala kepolisian, menuduh mereka merusak otonomi kota melalui undang-undang menyeluruh.
Tokoh lain yang juga terpengaruh adalah Direktur Kantor Urusan Hong Kong dan Makau Dewan Negara Xia Baolong, wakilnya Zhang Xiaoming, direktur kantor penghubung pemerintah pusat Luo Huining, dan direktur Kantor Keamanan Nasional Beijing di Hong Kong, Zheng Yanxiong.
Mereka yang terkena sanksi yang membuat aset terkait dengan AS dibekukan dan akibatnya secara efektif ditutup dari sistem keuangan global.
Dalam beberapa bulan terakhir, Uni Eropa, AS, Kanada, dan Inggris juga memberikan sanksi kepada pejabat dan entitas China atas apa yang mereka sebut sebagai kebijakan penindasan Beijing terhadap etnis Uygur di Xinjiang.
Kementerian luar negeri China menanggapi dengan memberlakukan sanksi perjalanan dan aset pada individu-individu asing itu, termasuk beberapa anggota parlemen dari negara-negara Eropa dan cendekiawan yang telah sangat merugikan kedaulatan dan kepentingan China dan menyebarkan kebohongan dan disinformasi dengan jahat.
Tam Yiu-chung, satu-satunya wakil Hong Kong untuk Komite Tetap NPC, mengatakan rancangan undang-undang dibahas dalam pertemuan Komite Tetap NPC terakhir pada April. "Tapi kali ini mereka siap meloloskan, demikian diberitakan media pemerintah. Saya mendukung," ujarnya.
Tam dan wakil ketua komite tetap Wang Chen juga termasuk di antara mereka yang dikenai sanksi oleh AS atas perombakan pemilihan Hong Kong yang diprakarsai oleh Beijing.
Wang Jiangyu, seorang profesor di sekolah hukum City University of Hong Kong dan direktur Center for Chinese and Comparative Law, menyebut undang-undang baru itu adalah versi terbaru dari peraturan pemblokiran yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan sebelumnya, dan mengatakan itu bisa menjadi senjata hukum yang kuat untuk Beijing dengan mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Wang mengatakan lebih baik bagi sebuah negara untuk mempersenjatai diri dengan peraturan seperti itu karena itu adalah perangkat perlawanan.
"Jika tidak melakukan apa-apa, Anda hanya duduk di sana untuk diganggu. nAMUN jika Anda memiliki sesuatu untuk melawannya, negara lain akan berpikir dua kali," katanya.
Adapun Jiang Liu, mitra di kantor firma hukum Morrison & Foerster di New York, mengatakan efektivitas undang-undang pemblokiran China pada akhirnya akan bergantung pada kekuatan ekonominya.
Dia mengatakan dari pengalaman undang-undang pemblokiran UE, yang dimaksudkan untuk melindungi perusahaan Benua Biru dari penerapan ekstrateritorial undang-undang negara ketiga, perusahaan yang terkena dampak dapat memutuskan untuk membuat keputusan untuk berhenti berbisnis dengan entitas yang dikenai sanksi AS untuk bernavigasi di bawah dua rezim hukum. Dalam kasus China, hal itu mungkin terjadi.
"Namun, satu konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari undang-undang pemblokiran yang bersaing seperti itu adalah potensi peningkatan substansial dalam biaya bisnis dan kepatuhan, terutama bagi perusahaan multinasional yang memiliki operasi bisnis di kedua wilayah," katanya.