Bisnis.com, JAKARTA — PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. dinilai memiliki warisan masalah yang sangat besar. Meskipun begitu, dia berharap agar maskapai pelat merah itu jangan sampai dipailitkan.
Hal tersebut disampaikan oleh Komisaris Independen Garuda Indonesia Yenny Zannuba Wahid dalam cuitan di akun Twitter pribadinya, @yennywahid.
Hingga kini badan usaha milik negara (BUMN) sektor penerbangan komersial itu dilanda berbagai persoalan.
Yenny menyatakan bahwa pihaknya berjuang keras agar GIAA tidak dipailitkan. Garuda Indonesia (GIAA) memang memiliki rapor merah dalam aspek keuangan di antaranya nilai utang pada 2021 yang mencapai Rp70 triliun.
"Banyak yang tanya soal Garuda. Saat ini kami sedang berjuang keras agar Garuda tidak dipailitkan. Problem warisan Garuda besar sekali, mulai dari kasus korupsi sampai biaya yang tidak efisien," cuit Yenny dalam akun Twitternya pada Sabtu (29/5/2021).
Di tengah kondisi yang amat buruk itu, dia menilai bahwa GIAA harus diselamatkan. Alasan utamanya karena Garuda Indonesia merupakan maskapai yang menjadi wajah Indonesia karena berstatus pelat merah.
"Namun, Garuda adalah national flag carrier kita. Harus diselamatkan. Mohon support & doanya," cuit Yenny.
Banyak yg tanya soal Garuda. Saat ini kami sedang berjuang keras agar Garuda tdk dipailitkan. Problem warisan Garuda besar sekali, mulai dari kasus korupsi sampai biaya yang tdk efisien. Namun Garuda adalah national flag carrier kita. Harus diselamatkan. Mhn support & doanya ??
— Yenny Zannuba Wahid (@yennywahid) May 29, 2021
Seperti dikutip dari Bloomberg, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan dalam pernyataannya kepada karyawan perusahaan bahwa emiten penerbangan pelat merah itu berada dalam kondisi berat secara finansial.
Dia mengatakan bahwa GIAA memiliki utang Rp70 triliun atau US$4,9 miliar. Jumlah utang tersebut bertambah lebih dari Rp1 triliun per bulannya seiring dengan penundaan pembayaran yang dilakukan perusahaan kepada para pemasok.
"Saat ini arus kas GIAA berada di zona merah dan memiliki ekuitas minus Rp41 triliun," paparnya.
Garuda Indonesia juga akan melakukan restrukturisasi bisnis yang mencakup pengurangan jumlah armada pesawat hingga 50 persen.
Pada 21 Mei 2021, manajemen GIAA pun mengumumkan program pensiun dini kepada publik. Serikat pekerja pun mengambil posisi tidak menolak atau menerima atas penawaran sukarela pensiun dini, yakni dengan mempersilakan anggotanya untuk mempertimbangkan opsi tersebut secara personal.
Setelah pengumuman itu, GIAA kemudian diketahui akan merestrukturisasi bisnis sepenuhnya. Kebijakan itu berisiko mengurangi jumlah pesawat yang dioperasikan hingga separuhnya atau pesawat yang tersisa kurang dari setengah jumlah saat ini.
Irfan menyebutkan bahwa dari 142 pesawat yang ada, perseroan hanya akan mengoperasikan tidak lebih dari 70 pesawat. Pernyataan tersebut mengacu pada maskapai layanan penuh (full-service) Garuda, tidak termasuk maskapai bertarif rendah (low-cost carrier) Citilink.