Bisnis.com, JAKARTA - Perilaku konsumen selaku pendorong utama belanja ritel menjadi penyebab utama toko berformat hypermarket tak memiliki usia lama di Indonesia. Perubahan perilaku konsumen juga tidak diiringi dengan revolusi toko berformat besar sehingga penutupan gerai seperti Giant menjadi hal yang lumrah ditemui.
“Format big box sudah dua dekade tidak berevolusi. Isinya hanya perang harga saja. Di luar penjualan produk grocery, pengelola kurang pandai untuk membuat pengalaman belanja lebih menarik,” kata Pengamat Ritel sekaligus Staf Ahli Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Yongky Susilo, Selasa (25/5/2021).
Dia mencatat format hypermarket telah menderita pertumbuhan negatif dalam tujuh tahun terakhir. Menurut Yongky, hal ini tak lepas dari preferensi konsumen kelas menengah atas yang tak lagi ingin membuang banyak waktu untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.
“Masyarakat menengah ke atas arahnya ke belanja gaya. Makanya yang lebih naik daun format supermarket seperti grup Ranch Market, Foodhall, Grand Lucky dan sebagainya. Format memang perlu diperkecil jika di kota-kota besar,” paparnya.
Meski demikian, Yongky tetap berpandangan format hypermarket tetap memiliki peluang, terutama di kota-kota secondary dan tertiary dengan masyarakat kelas menengah yang masih tertarik dengan konsep toko besar. Sementara untuk di kota-kota besar, pelaku usaha harus bisa memberikan pengalaman berbelanja yang berbeda.
Berkaitan dengan keputusan Hero Group untuk mengalihkan bekas gerai-gerai Giant menjadi IKEA atau Hero Supermarket, Yongky memberi catatan khusus soal lokasi.
Baca Juga
Hero Supermarket dinilainya punya kesempatan besar karena target pasarnya adalah masyarakat menengah ke atas. Karena itu, perseroan dapat memilih lokasi di area masyarakat menengah ke atas dan harus mampu bersaing dengan format supermarket yang mereknya sedang naik daun.
“Untuk Hero Supermarket harus hati-hati dengan lokasi. Jika lokasi bekas Giant di area dengan masyarakat mayoritas menengah ke bawah, tentu tidak bisa. Sementara untuk IKEA, perlu studi daya beli. Kalau terlalu rendah, masyarakat hanya datang untuk jalan-jalan di dalam toko,” kata dia.