Bisnis.com, JAKARTA -- Wacana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang sedang dikaji Kementerian Keuangan harus dipikir ulang. Badan Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (BPKN) melihat akan berdampak langsung pada masyarakat.
Ketua BPKN Rizal E. Halim mengatakan bahwa kenaikan PPN pasti akan berdampak pada peningkatan harga barang karena pungutan dibebankan kepada konsumen.
“Maka harga barang itu akan semakin membuat daya beli yang sudah tertekan, makin tertekan lagi. Akan terjadi kenaikan inflasi yang sebetulnya semu,” katanya pada diskusi virtual, Selasa (11/5/2021).
Rizal menjelaskan bahwa kasus ini sama seperti di Arab Saudi. Inflasi bukan terjadi karena naiknya permintaan, tapi harga barang. Tentu ini akan menekan pertumbuhan ekonomi. Dampaknya optimisme pemerintah soal roda niaga yang kembali bergeliat menjadi sirna.
Menurut Rizal, kenaikan PPN mempengaruhi secara keseluruhan konsumsi masyarakat. Di situasi yang sedang sulit akibat pandemi membuat masalah menjadi kompleks.
“Pemerintah seharusnya memberikan perlindungan ekononomi dan sosial terhadap masyarakat di tengah situasi saat ini. Tapi, yang terjadi secara sadar kita melihat kebijakan sektoral yang seolah-olah tidak dilakukan koordinasi di tingkat atas,” jelasnya.
Pemerintah dalam menaikkan PPN akan menggunakan skema multitarif. Bakal ada produk barang dan jasa yang besaran pungunannya naik dan ada pula yang turun. Namun, produknya masih dalam pembahasan.
Mengacu pada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8.1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan.
UU tersebut mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Saat ini, tarif PPN berlaku untuk semua produk dan jasa, yakni 10 persen.