Bisnis.com, JAKARTA - Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dinilai dapat memicu melonjaknya tingkat inflasi sehingga akan berdampak pada tertahannya daya beli masyarakat.
VP Economist Bank Permata Josua Pardede menyampaikan peningkatan PPN diharapkan dapat mendorong konsolidasi fiskal sehingga defisit APBN dapat kembali ke level normal, sebesar 3 persen terhadap PDB pada 2023. Langkah ini juga diharapkan dapat menunjang perekonomian jangka panjang, seperti belanja infrastruktur dan program prioritas lainnya.
Namun demikian, Josua menilai konsekuensi dari peningkatan tarif PPN berpotensi meningkatkan inflasi ke kisaran 3 hingga 4 persen yang disebabkan oleh cost-push-inflation.
"Kenaikan inflasi akibat kenaikan tarif PPN tidak diiringi oleh peningkatan permintaan,” katanya kepada Bisnis, Kamis (6/5/2021).
Akibatnya, dia menyampaikan kenaikan inflasi akan cenderung membatasi daya beli masyarakat sehingga konsumsi rumah tangga juga melambat. Pada akhirnya, kebijakan tersebut nantinya akan membatasi laju pertumbuhan ekonomi pada 2022.
Sebelum pemerintah menaikkan tarif PPN, lanjutnya, perlu dipastikan kondisi perekonomian terutama konsumsi rumah tangga sudah kembali pulih ke kondisi sebelum pandemi. Dengan demikian, kenaikan tarif PPN tidak membebani proses pemulihan ekonomi.
Baca Juga
Di sisi lain, dia menilai pemerintah menurutnya menaikkan besaran cukai alkohol dan rokok atau menerapkan environmental taxes di samping opsi menaikkan tarif PPN.
Untuk mengoptimalisasi penerimaan negara, pemerintah pun dinilai dapat mengurangi belanja perpajakan sehingga akan mendorong penerimaan pajak lebih optimal.
“Dengan upaya konsolidasi fiskal, diharapkan ruang fiskal semakin lebar yang mendorong upaya atau kebijakan reformasi struktural yang pada akhirnya akan mendukung kesinambungan ekonomi dan fiskal dalam jangka panjang,” jelasnya.