Bisnis.com, JAKARTA – Bisnis ritel modern masih menghadapi ketidakpastian meski terdapat sinyal perbaikan daya beli masyarakat. Dukungan pemerintah diperlukan sebagai jaminan sektor ini dapat merebut peluang di tengah momen perbaikan konsumsi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey mengatakan situasi sulit yang dihadapi sektor ritel tecermin dari tren penutupan gerai yang berlanjut pada kuartal I/2021. Dari data yang dihimpun, setidaknya ada 80 sampai 90 gerai ritel yang tutup dalam kurun 3 bulan pertama tahun ini.
“Artinya sehari setidaknya ada satu gerai ritel yang tutup karena tidak bisa bertahan,” kata Roy, Kamis (6/5/2021).
Roy mengatakan tren penutupan ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu. Pada 2020, setiap hari setidaknya ada 5 sampai 6 gerai ritel dari berbagai segmen yang menghentikan operasi, baik secara permanen maupun sementara.
“Jadi untuk tahun ini memang masih terkontraksi meski ada sedikit perbaikan, belum full recovery. Penutupan pun banyak bersifat sementara dan mengacu pada situasi penanganan Covid-19 dan daya beli di daerah lokasi ritel tersebut,” lanjutnya.
Roy memperkirakan laju penutupan ritel modern bisa melambat pada kuartal II/2021 karena banyak pengelola yang mengejar momentum Ramadan dan Lebaran.
Adapun untuk prospek usai perayaan Idulfitri, Roy mengatakan pelaku usaha akan melihat sejauh mana pemerintah menerapkan kebijakan terhadap mobilitas masyarakat dan seperti apa perkembangan daya beli.
“Jika ada ritel yang masih ekspansi itu sifatnya masih terbatas sekali. Kebanyakan hanya ekspansi untuk skala minimarket atau untuk ruang yang luasnya di bawah 100 meter persegi. Kalau besar terlalu berisiko,” kata dia.
Data Nielsen Retail Audit menunjukkan bahwa ritel skala minimarket masih tumbuh 4,8 persen sepanjang 2020 dan menjadi penopang pertumbuhan ritel modern yang naik tipis 1 persen. Sementara itu, ritel skala hypermarket dan supermarket terkontraksi 10,1 persen sepanjang 2020.
Kontribusi minimarket terhadap total perdagangan eceran juga bertambah dari 20,9 persen pada 2019 menjadi 26,5 persen pada 2020. Di sisi lain, kontribusi hypermarket dan supermarket naik tipis dari 6,6 persen menjadi 6,8 persen.
Meski sektor ini masih menghadapi sejumlah tantangan, Roy mengatakan ritel modern masih berpeluang merebut momentum potensi naik konsumsi. Tetapi, peluang ini harus dia sebut perlu didukung dengan sejumlah insentif seperti akses permodalan dengan bunga rendah dan restrukturisasi kredit.
“Kami harap ritel masuk sektor prioritas sehingga bisa mengakses stimulus korporasi yang disiapkan pemerintah,” kata dia.
Selain itu, peritel juga berharap pemerintah memberi dukungan operasional seperti relaksasi tagihan listrik, insentif pajak, dan penambahan jam operasional dari maksimal pukul 21.00 menjadi pukul 22.00.