Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Usulan Safeguard Garmen Terus Dibahas Intens

Para pelaku usaha menganggap kehadiran garmen impor telah menyebabkan injury terhadap industri di dalam negeri.
Pekerja meyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen PT Citra Abadi Sejati, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/9/2018)./JIBI-Nurul Hidayat
Pekerja meyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen PT Citra Abadi Sejati, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/9/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Pembahasan pemberlakuan safeguard terhadap produk garmen masih berlangsung dan dilakukan secara intens. Kehadiran garmen impor diakui telah menyebabkan injury terhadap industri di dalam negeri.

“Saat ini pemerintah memang sedang melakukan pembahasan secara maraton, tetapi kata sepakat sudah dicapai untuk pengenaan safeguard garmen meskipun masih ada lembaga yang berada pada posisi penolakan,” kata Direktur Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh ketika dihubungi, Rabu (21/4/2021).

Sayangnya, Elis tidak memerinci lembaga apa yang berada dalam posisi menolak tersebut. Tetapi dia menjelaskan silang pendapat lebih disebabkan oleh pertimbangan ekonomi makro dan imbas pengenaan tarif tambahan terhadap konsumen.

Lebih lanjut, Elis menjelaskan besara safeguard garmen yang diusulkan Kemenperin bervariasi sesuai dengan segmentasi produk garmen. Meski demikian, dia memastikan besaran bea masuk tindak pengamanan telah mengacu pada paritas antara harga produk impor dan lokal, serta memperhatikan aspek industri ritel dan daya beli masyarakat.

“Tindakan pengamanan yang dibahas ini upaya yang harus dilakukan karena memang telah terbukti industri sedang injury pada masa penyelidikan akibat lonjakan impor,” katanya.

Dia pun memberi konfirmasi bahwa aktivitas industri tekstil belum pulih seutuhnya di tengah tren pemulihan ekonomi yang berlanjut.

Dalam hal kenaikan harga bahan baku seperti minyak bumi dan kapas, dia menyebutkan banyak pelaku industri yang memilih menahan aktivitas produksi. Tertahannya aktivitas ini pun dipengaruhi oleh kekhawatiran daya beli yang belum membaik.

“Daya beli masyarakat yang cenderung belum pulih memicu kekhawatiran stok menumpuk makin banyak,” kata Elis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper