Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Baja Minta Pemerintah Revisi PP Nomor 41/2021

Impor baja, khususnya produk pelat, yang membanjiri Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Kawasan Bebas) Batam terjadi akibat pembebasan bea masuk, di mana di dalamnya termasuk bea masuk anti dumping (BMAD), bea masuk imbalan (BMI), bea masuk pengamanan perdagangan (BMTP) dan bea masuk pembalasan.
Pabrik Baja Ringan. /PT Auri Steel Metalindo
Pabrik Baja Ringan. /PT Auri Steel Metalindo

Bisnis.com, JAKARTA — Industri baja berharap pemerintah kembali mengkaji PP Nomor 41/2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.

Direktur Eksekutif Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Widodo Setiadarmaji mengatakan IISIA melihat adanya permasalahan yang dihadapi industri baja khususnya terkait dengan penerbitan regulasi tersebut.

Impor baja, khususnya produk pelat, yang membanjiri Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Kawasan Bebas) Batam terjadi akibat pembebasan bea masuk, di mana di dalamnya termasuk bea masuk anti dumping (BMAD), bea masuk imbalan (BMI), bea masuk pengamanan perdagangan (BMTP) dan bea masuk pembalasan.

"Sejak 2015, impor di Kawasan Bebas Batam terus naik, hal ini yang menjadi kekhawatiran rekan-rekan industri baja di Indonesia, terutama produsen baja untuk galangan kapal. Diberlakukannya PP Nomor 41/2021 pada Februari 2021 berpotensi menambah porsi impor di Batam," katanya dikutip Bisnis, Senin (22/3/2021).

Widodo mengatakan pemerintah telah mengenakan BMAD terhadap pelat baja asal China, Singapura, dan Ukraina sejak 2012 yang diperpanjang tiga kali, berlaku sampai 2024. Namun pengenaan BMAD ini tidak dapat dikenakan di Kawasan Bebas Batam karena terbentur dengan PP Nomor 10 Tahun 2012 yang kemudian diperbarui dengan PP Nomor 41 Tahun 2021.

Widodo mengemukakan data dari BPS menyebutkan bahwa dari 2015, impor plat baja di Batam mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya permintaan kebutuhan baja di Batam dari 107.000 ton pada 2015 menjadi 400.000 ton pada tahun lalu .

Porsi produk baja domestik hanya mampu mengisi 96.000 ton di 2019 di mana selebihnya 76 persen baja impor menguasai pangsa pasar Batam dengan total 304.000 ton dari total keseluruhan kebutuhan baja.

Sementara itu dari jumlah baja yang diimpor di 2019, 68 persenya merupakan baja yang berasal dari negara yang melakukan dumping. Widodo mengatakan dumping sendiri merupakan praktik yang tidak diperbolehkan oleh hukum dagang internasional.

"Masuknya baja impor ke Kawasan Bebas Batam harus tetap di awasi, agar tidak keluar produknya untuk kembali di jual di wilayah Indonesia. Pihak yang berwenang wajib menjaga ini karna jika baja impor masuk ke wilayah Indonesia tanpa membayar pabean dan pajak yang berlaku, maka itu adalah perbuatan melanggar hukum," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Technology dan Businnes Development PT Krakatau Posco Gersang Tarigan juga mengatakan dengan regulasi tersebut maka akan berpotensi memicu tindakan curang dari produsen besi dan baja luar negeri. Apalagi, Batam saat ini memiliki pangsa pasar yang besar untuk besi dan baja.

"Di tengah permintaan baja nasional yang turun dari rerata 1,5 juta ton menjadi 1 juta ton tahun lalu, permintaan pelat baja di Batam tercatat masih tumbuh dan mencapai 400.000 ton per tahun, tetapi 304.000 ton atau 76 persen beras dari impor," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ipak Ayu
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper