Bisnis.com, JAKARTA – Daya kendali Indonesia atas perairan di Selat Malaka dan Selat Singapura masih lemah dibandingkan negara tetangga Singapura dan Malaysia dengan indikasi keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), teknologi, armada serta daya dukung Vessel Traffic Services (VTS).
Hal itu berujung kepada ketidakwajiban kapal-kapal internasional melapor ke VTS Indonesia. Padahal kewajiban pelaporan ini bisa menjadi cara untuk mendapatkan manfaat ekonomis dan bisnis bagi pelaku usaha kedua negara.
Pakar maritim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Saut Gurning memperkirakan sekitar 60.000–80.000 berbagai tipe dan kapasitas unit kapal yang melewati lintasan internasional ini. Potensinya diproyeksikan sekitar US$150 miliar, belum lagi dengan potensi penciptaan lapangan kerja 200.000 orang khususnya untuk layanan kapal, awak kapal/pemanduan dan pandu serta navigasi perairan.
Saut menjelaskan terkait dengan pengembangan VTS Indonesia yang berada di Selat Malaka hingga akhir tahun lalu masih dalam proses perawatan berbagai aids to navigation (aton) sekitar 42 unit di wilayah perairan nasional termasuk penggantiannya guna mendukung dua VTS baik yang ada di Dumai dan Batam.
Saat ini, kata dia, dari aspek keamanan, memang banyak indikasi kapal-kapal asing yang melewati wilayah perairan Indonesia melakukan kegiatan komersialisasi tanpa izin. Dia mencontohkan Seperti pergantian kru kapal serta pengiriman suku cadang kapal saat kapal melewati Selat Malaka dan Selat Singapura. Selain tentunya juga dengan kegiatan layanan atas kapal yang lain.
“Ada kesan kuat kurangnya daya kendali negara kita atas kapal-kapal internasional yang melewati perairan dalam Indonesia di Selat Malaka dan dekat Selat Singapura,” ujarnya, Senin (15/3/2021).
Baca Juga
Saut lantas juga menilai diplomasi voluntarily pilot service (VPS) atas wilayah bersama selama ini merugikan Indonesia. Pasalnya Indonesia tidak dapat memanfaatkan potensi bisnisnya, tetapi justru berkewajiban menyediakan fasilitas aton yang paling banyak karena paling sering diwakili termasuk mengurusi limbah-limbah kapal yang dibuang armada pelayaran saat melewati wilayah Selat tersebut.
“Jadi diplomasi kita lemah karena ketidakmampuan kita sendiri. Bahkan kecenderungannya kita saling tarik menarik diantara pelaku usaha internal Indonesia sendiri. Padahal potensi bisnisnya menurut saya besar,” ujarnya.