Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memperkirakan bahwa Indonesia akan mengalami 1-2 bulan defisit neraca perdagangan pada 2021.
Di luar dua bulan tersebut, dia juga memperkirakan bahwa Indonesia akan mengalami surplus, tetapi kemungkinan semakin rendah ke depannya.
“Ya mungkin nanti ada bulan-bulan di mana kita surplus hanya ratusan juta [US$] gitu,” jelas Faisal, Senin (15/3/2021).
Dia mengatakan bahwa surplus keseluruhan dalam setahun juga akan menurun di akhir 2021. Diketahui, neraca perdagangan Indonesia surplus sebesar US421,74 miliar sepanjang 2020.
“Saya rasa mungkin kita [2021] paling tidak US$10 miliar. Setengahnya dari total surplus 2020 lah,” tambahnya.
Faisal mengatakan bahwa penurunan disebabkan oleh indikasi pemulihan permintaan dari dalam negeri. Terutama, menjelang Ramadhan dan Idulfitri, permintaan untuk sejumlah komoditas diprediksi meningkat.
Di lain sisi, surplus yang dialami oleh Indonesia selama pandemi disebabkan oleh pemulihan ekonomi di negara-negara lain yang cukup cepat. Sehingga, hal tersebut menyebabkan peningkatan permintaan terhadap produk luar negeri.
Pada Januari–Februari 2021, Tiongkok mencatat nilai US$6.001,0 juta (20,83 persen), diikuti Amerika Serikat dengan nilai US$3.535,4 juta (12,27 persen), dan Jepang US$2.451,6 juta (8,51 persen).
Komoditas utama yang diekspor ke Tiongkok pada periode tersebut adalah besi/baja, batubara, dan lignit.
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa neraca perdagangan Indonesia Februari 2021 surplus sebesar US$2,01 miliar.
Kepala BPS Suhariyanto menyebut bahwa nilai ekspor pada Februari 2021 sebesar US$15,27 miliar, atau naik 8,56 persen dibanding Februari 2020. Pada periode yang sama, nilai impor Februari 2021 sebesar US$13,26 miliar, atau naik 14,86 persen dibanding Februari tahun yang lalu.