Bisnis.com, JAKARTA - Pembiayaan untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta ultra mikro tidak lagi cukup hanya dilakukan oleh lembaga perbankan.
Rofikoh Rokhim, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, mengatakan kolaborasi berbagai lembaga keuangan harus dilakukan untuk memperluas akses pelaku UMKM dan ultra mikro mendapat pembiayaan sehat.
Rofikoh juga menyoroti pentingnya penerapan nilai keberlanjutan dilakukan oleh lembaga keuangan khususnya bank. Salah satu cara penerapan nilai berkelanjutan oleh lembaga keuangan bisa melalui penyaluran pembiayaan untuk UMKM. Pemberian kredit bagi pelaku usaha ultra mikro, mikro, dan kecil, otomatis akan berdampak pada naiknya tingkat inklusi keuangan masyarakat Indonesia.
Hingga 2019 lalu, tingkat inklusi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 76,19 persen. Angka ini masih perlu ditingkatkan, salah satunya melalui jalur pembiayaan secara luas kepada pelaku UMKM dan ultra mikro.
"Angka ini menunjukkan bahwa belum semua penduduk Indonesia dapat menikmati akses jasa keuangan, dan sebagian di antaranya bisa jadi merupakan pelaku UMKM," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis, Sabtu (13/2/2021).
Padahal, lanjutnya, salah satu penentu keberlangsungan suatu usaha adalah kemampuannya memperoleh akses permodalan yang terjangkau. Data menunjukkan, UMKM mendapatkan pembiayaan dari perbankan sebesar Rp1.091 triliun pada Desember 2020. Artinya masih sekitar 25 persen dari total kredit yang disalurkan oleh perbankan.
Baca Juga
Dia menyebut ada empat penyebab sulitnya UMKM mendapat akses pembiayaan formal selama ini. Pertama, adanya kekurangan informasi karena UMKM biasanya tidak masuk audit lembaga perbankan, minim menggunakan teknologi, dan asetnya tidak dijamin.
Kedua, ada informasi yang tidak simestris dan berujung pada terjadinya rasionalisasi kredit dari bank. Rasionalisasi kredit menyebabkan banyak pelaku UMKM yang dibebankan biaya pembiayaan tinggi oleh bank, untuk mengantisipasi potensi default dari debitur.
Ketiga, adanya kondisi granularity atau karakter pembiayaan UMKM yang selama ini banyak tapi tersebar kecil-kecil. Keempat, meningkatnya biaya pemantauan perbankan untuk mengawasi pembiayaan granular, sehingga mengurangi efisiensi lembaga keuangan.
"Hal ini menuntut transformasi antarlembaga yang ada dalam industri keuangan di Indonesia, untuk lebih meningkatkan kolaborasi demi penguatan jejaring perbankan kepada sektor UMKM," ujarnya.
Dia melanjutkan, penyaluran kredit kepada UMKM ini tidak cukup hanya dilakukan oleh sektor perbankan, melainkan juga berbagai lembaga, seperti Permodalan Nasional Madani (PNM), Pegadaian, atau Bahana Artha Ventura.
Menurutnya, keberadaan akses permodalan yang luas dan dukungan dari banyak lembaga membuat UMKM makin berkesempatan meningkatkan skala usahanya. Peningkatan skala usaha UMKM akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Dia menyebut kolaborasi dari berbagai lembaga keuangan saat ini menjadi penting untuk menciptakan semangat sharing economy. Kerja sama juga akan berdampak besar pada peningkatan inklusivitas, produktivitas, dan peningkatan pendapatan masyarakat.
"Dengan menggabungkan kontribusi dari berbagai pemangku kepentingan, maka diharapkan lembaga keuangan dapat semakin memperkuat tujuan untuk menyeimbangkan peran secara sosial dan pencapaian profit. Hal ini merupakan salah satu cara untuk memperkuat peran sektor keuangan dalam membantu masyarakat dalam mencapai tujuannya dan menjadi sistem pendukung di dalam masyarakat," kata Rofikoh.