Bisnis.com, JAKARTA - Pekan ini, warganet dihebohkan dengan promosi rumah tapak dengan luas bangunan hanya 13m2 dan luas tanah 60m2, tanpa kamar tidur layaknya apartemen bertipe studio. Rumah tersebut dibangun oleh PT Modernland Realty Tbk. di Cilejit, Tangerang, sebanyak 100 unit.
Rumah yang dijual dengan harga Rp150 jutaan itu mengusung konsep rumah tumbuh atau rumah yang bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan di masa depan. Rumah dengan konsep tersebut diklaim menjadi incaran generasi milenial saat ini.
Lantas, apakah memang demikian atau malah kehadiran rumah tersebut hanyalah siasat pengembang untuk menekan harga?
Menurut Head of Research & Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus, konsep rumah tumbuh pada dasarnya bukan hal baru di Indonesia. Konsep tersebut sudah hadir sejak empat dekade lalu saat pemerintah melalui Perumnas membangun kawasan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah lewat Perum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas).
“Sudah ada sejak 1980-an atau 1970-an akhir dibangun oleh Perumnas, diinisiasi oleh Menteri PUPR Cosmas Batubara. Rumah tipe 21 atau luas bangunan 21 m2 itu contohnya. Sudah dibuat paling kecil dan paling minim,” katanya ketika dihubungi oleh Bisnis belum lama ini.
Mengenai rumah dengan luas bangunan 13 m2, Anton menilai rumah tersebut jauh dari kata layak, terlebih bagi keluarga yang sudah memiliki anak. Selain itu, menurutnya rumah tapak tidak bisa disamakan dengan apartemen dengan tipe studionya.
Baca Juga
“Jauh dari kata layak, rumah subsidi saja minimal tipe 21 dan apartemen studio itu juga minimal luasnya 20 m2. Rumah tapak juga tidak bisa didesain seperti apartemen ada tipe studionya. Apartemen itu punya common area yang bisa dimanfaatkan penghuni bersama-sama, sedangkan rumah tapak berbeda,” tuturnya.
Lebih lanjut, Anton menyebut sudah seharusnya pemerintah secara tegas mengatur luas minimal bangunan dan tanah rumah tapak tidak hanya pada rumah bersubsidi. Jika tidak diatur, menurutnya banyak celah yang digunakan oleh pengembang untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kelayakan bagi penghuninya.
“Tidak manusiawi rumah sangat kecil itu, cari keuntungan atau mau menekan harga boleh tetapi harus mempertimbangkan kelayakan juga. Buat yang sesuai standar saja manfaatkan kebijakan DP dan PPN 0% untuk menarik minat konsumen, bila perlu berikan diskon,” ujarnya.
Sementara itu, terkait dengan kelayakan rumah, Direktur Utama Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arief Sabaruddin mengatakan pihaknya telah menyiapkan aplikasi khusus Sistem Pemantauan Konstruksi (SiPetruk) untuk memastikan kelayakan rumah untuk masyarakat dari kalangan menengah ke bawah atau berpenghasilan rendah.
Aplikasi tersebut dapat digunakan masyarakat untuk memeriksa kelayakan hunian yang meliputi keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan serta memenuhi persyaratan tata bangunan dan lingkungan, yang merupakan syarat dalam mewujudkan perumahan sehat dan berkelanjutan.
“Kita tidak hanya menargetkan membangun hunian semata, melainkan membangun kehidupan,” katanya Jumat (12/3).