Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah didesak untuk merombak dan menghentikan sebagian insentif perpajakan kepada pelaku usaha di tengah pandemi Covid-19. Efek manfaat yang minim jadi penyebabnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan berdasarkan riset yang dilakukan Blinder dan Zandi dari Brookings Institute, insentif pemangkasan pajak yang langsung menyentuh konsumsi rumah tangga jauh lebih memiliki dampak berganda daripada sektor lain
Apalagi hal tersebut jika dibandingkan dengan stimulus berupa pemotongan pajak penghasilan (PPh) badan. Kenyataannya, yang dilakukan pemerintah sepanjang pandemi lebih mengalokasikan belanja pajak pada dunia usaha atau sisi pasokan.
“Apakah penurunan tarif PPh badan sejauh ini efektif? Tampaknya juga tidak. Justru menggerus rasio pajak,” katanya saat dihubungi, Minggu (7/3/2021).
Tahun lalu, Kementerian Keuangan mencatat insentif perpajakan telah digunakan oleh sekitar 464.316 wajib pajak (WP) pada 2020. Total yang diberikan pemerintah sebanyak Rp43,43 triliun.
Bhima menjelaskan hal lainnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengevaluasi wajib pajak yang mendapatkan insentif tidak terbuka kepada masyarakat.
Jika dibiarkan, ini akan berdampak pada sulit ditelusuri apakah ada pengaruh tambahan kesempatan kerja atau justru terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) meski sudah diberi keringanan pajak.
Belajar dari Selandia Baru, terang Bhima, patut menjadi pertimbangan dalam pengawasan insentif. Di sana, bagi perusahaan yang mendapat stimulus pajak oleh pemerintah setempat wajib membuka data terkait profitabilitas hingga dampak terhadap ekonomi.
“Sejauh ini Kementerian Keuangan hanya melaporkan total belanja pajak. Di mana hal tersebut tidak cukup sama sekali untuk mengevaluasi seberapa besar dampak insentif pajak yang diberikan,” jelasnya.