Bisnis.com, JAKARTA – Sektor perdagangan dipandang punya prospek menjanjikan untuk menjadi salah satu sumber pemulihan ekonomi nasional seiring dengan membaiknya ekonomi global. Tetapi, pemerintah diharapkan tidak terlalu mengandalkan sektor ini.
“Perdagangan internasional sangat menjanjikan untuk menjadi driver pertumbuhan dan pemulihan ekonomi nasional, setidaknya untuk tahun ini. Kami melihat proses normalisasi ekonomi dunia berjalan lebih cepat dan lebih stabil dibandingkan dengan normalisasi kegiatan ekonomi di tingkat nasional,” kata Wakil Ketua Umum bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani, Kamis (4/3/2021).
Shinta pun mengamati pergerakan harga komoditas sejak akhir 2020 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan harga rata-rata pada 2019, termasuk pada CPO dan batu bara yang menjadi penyumbang ekspor nonmigas terbesar RI. Permintaan pada komoditas ini diperkirakan terus meningkat sehingga memberi keuntungan tersendiri bagi Indonesia.
“Kalau Indonesia bisa menggenjot produktivitas ekspor sepanjang 2021, kita bisa menciptakan surplus perdagangan yang lebih tinggi dan ekspor akan menjadi kontributor besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional hanya dari ekspor komoditas saja,” lanjutnya.
Meski demikian, Shinta memberi catatan Indonesia harus bisa segera mendiversifikasi ekspor setelah 2021 dengan produk bernilai tambah. Karena itu, dia berharap pemerintah tahun ini tidak hanya fokus meningkatkan ekspor komoditas, tetapi juga mengembangkan kompetensi dan daya saing produk-produk ekspor bernilai tambah.
“Dengan demikian setelah 2021 ekspor nasional terus tumbuh positif dan tanpa tergantung pada ekspor komoditas mentah,” kata dia.
Baca Juga
Namun, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri memberikan pandangan berbeda.
Dia berpendapat sektor perdagangan luar negeri tidak bisa menjadi tumpuan karena perekonomian domestik sejatinya memberi kontribusi paling besar. Hanya saja, lanjut dia, Indonesia kehilangan momentum untuk mengoptimalisasi perekonomian domestik.
“Sebenarnya pada 2020 kita bisa saja tetap tumbuh positif seperti Vietnam dan China asal masalah kesehatan berhasil ditanggulangi. Namun kita kehilangan momentum tersebut,” kata dia.
Meski perekonomian global menunjukkan sinyal pemulihan yang lebih cepat dibandingkan perekonomian domestik, Yose pun mengatakan Indonesia tidak bisa langsung memetik manfaatnya karena kontribusi ekspor terhadap PDB masih rendah.
Rasio ekspor barang dan jasa Indonesia terhadap PDB tercatat hanya mencapai 17,17 persen menurut laporan Kementerian Perdagangan, lebih rendah dari rasio negara tetangga seperti Singapura yang mencapai 173 persen atau Malaysia yang sebesar 65 persen.
“Kalau melihat krisis ekonomi 2008 dengan pemulihan pada 2009 dan 2010 pun Indonesia bisa dibilang tidak bisa merasakan dampaknya karena perdagangan kita tidak terlalu terintegrasi,” lanjutnya.
Dia pun menyoroti target pertumbuhan ekspor 6,3 persen yang bisa saja tidak terealisasi jika harga komoditas tidak mengalami kenaikan.
Dia mengemukakan kenaikan harga sebagian besar komoditas banyak dipengaruhi oleh kondisi suplai alih-alih pulihnya permintaan. Contohnya adalah pasokan komoditas mineral yang menjadi ketat akibat sentimen dagang antara China dan Australia yang berpengaruh terhadap harga batu bara, nikel, dan tembaga.
“Apakah antara Australia dan China ini akan terus terjadi atau tidak? Saya kira tidak. Jadi jangan terlalu berharap harga komoditas akan terus meningkat dan mengerek nilai ekspor kita,” ujar Yose.