Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diharapkan mampu mengendalikan impor barang konsumtif yang bukan merupakan kebutuhan primer untuk menjaga kinerja neraca perdagangan Indonesia.
Vice President PT Sucofindo (Persero) Soleh Rusyadi Maryam optimistis pemerintah akan terus menggalakkan ekspor meskipun masih dalam situasi pandemi Covid 19. Di sisi lain pemerintah juga harus berani melakukan tindakan ekstrem mengendalikan impor barang konsumsi.
Dia menilai ada lima produk yang mengalami pertumbuhan impor tertinggi selama 2016-2020, yaitu bahan tambang, perhiasan, produk kimia, buah-buahan, dan produk-produk susu (dairy product). “Impor perhiasan, buah-buahan, dan susu seharusnya bisa dikendalikan hingga angka minimal,” kata Soleh dalam siaran pers yang dikutip, Kamis (4/3/2021).
Dia menuturkan nilai ekspor produk Indonesia 2020 mencapai angka terendah sejak 2017, tetapi surplus yang dicatat (US$21,737 miliar) merupakan yang tertinggi sejak 2015. Hal ini terjadi bukan karena adanya lonjakan ekspor tetapi karena nilai impor 2020 sebesar US$141,568 miliar merupakan yang terendah sejak 2017.
“Jadi inilah dampak nyata dari pandemi Covid 19 pada 2020,” ujarnya.
Adapun, Lektor Ekonomi Universitas Nasional Jakarta I Made Adnyana mengemukakan sejumlah upaya yang bisa dilakukan untuk menjaga pasar dan menggenjot ekspor produk Indonesia, salah satunya meningkatkan penetrasi ke pasar non tradisional. Upaya ini dapat dilakukan melalui program pengembangan produk ekspor, pengembangan SDM di bidang ekspor, dan promosi dagang.
Baca Juga
“Pemerintah harus memfasilitasi pengusaha Indonesia untuk melakukan promosi ke berbagai negara,” kata Adnyana.
Sementara itu, Rektor Istitut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta Mukhaer Pakkana mengingatkan bahwa terjadinya surplus perdagangan adalah karena harga ekspor naik signifikan dari level terendah pada Mei 2020, sementara pada saat bersamaan harga impor relatif justru lambat kenaikannya.
“Ini memberi peluang bagi usaha berbasis ekspor untuk ekspansi selagi harga pasar tinggi, dan juga peluang pengadaan barang modal dan bahan baku impor selagi harga sedang murah dan rupiah sudah mulai kuat,” kata Mukhaer.
Dari sisi pertumbuhan, Mukhaer menilai Indonesia tidak terlampau terpuruk karena hanya terkontraksi 2,1 persen, dibandingkan dengan Filipina yang minus 9,5 persen. Adapun, tingkat konsumsi masyarakat masih bisa lebih digenjot sehingga bisa meningkatkan produksi.
Dengan demikian, impor produk konsumtif perlu dikendalikan. Namun, impor substitusi produk lokal baik untuk ekspor maupun konsumsi lokal perlu didorong karena memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.