Bisnis.com, JAKARTA – Sektor perdagangan Indonesia perlu transformasi besar untuk dapat mencapai diversifikasi ekspor maupun impor.
Diversifikasi kian diperlukan mengingat struktur perdagangan luar negeri Indonesia saat ini cenderung rentan menghadapi disrupsi jika pandemi serupa kembali terjadi. Kerentanan itu setidaknya sempat tecermin pada kinerja impor RI yang mengalami kontraksi besar pada semester I 2020.
Impor nonmigas yang didominasi oleh bahan baku penolong dan modal menyentuh level terendah US$9,80 miliar pada Februari dan US$7,78 miliar pada Mei. Hal tersebut terjadi seiring dengan maraknya penerapan kebijakan karantina wilayah di berbagai negara pemasok.
Pemerintah saat itu bahkan memberi insentif pembebasan bea masuk untuk bahan baku di sejumlah sektor manufaktur agar bisa mencari pemasok alternatif.
Hal serupa juga terjadi pada ekspor yang menyentuh level terendah pada Mei 2020 dengan nilai US$10,45 miliar. Ekspor RI mulai naik dan menyamai nilai rata-rata sebelum pandemi pada semester II bersamaan dengan menguatnya harga komoditas.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengemukakan perbaikan kinerja bulanan perdagangan RI selama pandemi membaik seiring pulihnya perekonomian China.
Baca Juga
Negara tersebut merupakan mitra dagang terbesar dan menjadi pemasok bahan baku penolong serta modal utama bagi RI. China juga menjadi destinasi ekspor terbesar RI dan masih mencatatkan pertumbuhan 2,3 persen meski dihantam Covid-19 pertama kali.
“Pandemi ini mengajarkan kita perlunya mendorong diversifikasi ekspor dan impor, diversifikasi negara pemasok dan tujuan maupun produk yang dihasilkan,” kata dia saat dihubungi, Rabu (3/3/2021).
Faisal mencatat kinerja perdagangan RI yang mulai membaik pada kuartal IV/2020 bukanlah hal yang murni positif karena kenaikan ekspor terjadi akibat harga komoditas yang menguat dan impor masih diselimuti tekanan.
Aktivitas ekspor yang tumbuh pun hanya ditopang sedikit produk manufaktur yang menjadi sinyal bahwa perekonomian di dalam negeri belum pulih sepenuhnya.
“Ekspor bulanan pada kuartal IV bahkan melampaui rata-rata nilai sebelum pandemi. Namun perlu dicatat bahwa ini belum benar-benar sehat karena didominasi harga komoditas, untuk manufaktur baru didukung produk besi dan baja akibat penghiliran nikel,” ujarnya.
Karena itu, Faisal mengatakan perlu transformasi besar pada perdagangan luar negeri agar Indonesia bisa lebih optimal dalam pemulihan yang lebih baik dari masa sebelum pandemi. Dalam kaitan ini, dia menyebutkan ambisi Indonesia untuk mengejar investasi agar posisi dalam rantai nilai global hanyalah satu dari sejumlah opsi yang bisa dipilih.
“Perlu dilihat dulu investasi yang masuk ini bagaimana multiplier effect-nya terhadap ekonomi dalam negeri. Apakah bisa menyerap tenaga kerja dan meningkatkan keikutsertaan UMKM. Jika tidak Indonesia hanya sekadar ‘terkait’ saja dengan rantai nilai global,” kata Faisal.
Faisal pun memberi catatan bahwa investasi yang masuk ke Indonesia dan berpeluang mendorong ekspor ke depannya bakal terbatas pada industri dengan bahan baku yang memiliki keunggulan komparatif besar. Dia memberi contoh pada industri besi dan baja dengan limpahan bahan baku di dalam negeri.
Sementara untuk industri manufaktur lain yang bahan bakunya banyak dipasok lewat pengadaan luar negeri, Indonesia masih perlu waktu panjang untuk meningkatkan daya saing.