Bisnis.com, JAKARTA – Kesemrawutan data bantuan sosial (bansos) mewarnai satu tahun Indonesia dilanda pandemi Covid-19. Pemerintah mendapatkan kritik dari sejumlah pihak terkait penyaluran dana bansos yang tidak efektif selama pandemi.
Ekonom Senior Institute Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati menyebut data bansos yang semrawut berpotensi menimbulkan risiko moral yang besar. Menurutnya, sampai saat ini Indonesia tidak memiliki data kesejahteraan sosial terpadu.
Data yang semrawut membuat sasaran penerima bansos tumpang tindih. Apalagi pemerintah memiliki skema bantuan yang bermacam-macam, seperti berbentuk dana tunai dan barang (sembako).
“Misal orang sudah dapat bantuan melalui bantuan tunai. Terus ada lagi skema bantuan beras, ada lagi prakerja, dan sebagainya,” jelas Enny, Selasa (2/3/2021).
Pemerintah perlu mengintegrasikan data dalam skema program penyaluran bansos. Hingga 18 Desember 2020, terdapat 2.129 laporan keluhan yang disampaikan oleh masyarakat ke KPK melalui fitur JAGA Bansos.
Enny menjelaskan bahwa skema penyaluran dana bansos selama ini tidak efektif, bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia. “Tapi apa yang dilakukan Kemensos dari zamannya Juliari Batubara, itu kan jadi peluang melakukan modus korupsi,” tambahnya.
Seperti diketahui dalam kasus Juliari, KPK menduga mantan menteri sosial tersebut menyunat Rp10.000 dari anggaran tiap paket pengadaan bansos Covid-19 seharga Rp300.000. Nilai korupsi tersebut diperkirakan mencapai Rp 17 miliar.
Di dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Kementerian Keuangan telah mematok anggaran perlindungan sosial sebesar Rp148,66 triliun untuk tahun ini. Anggaran perlindungan sosial ini turun dari Rp220,39 triliun.