Bisnis.com, JAKARTA - Hampir semua negara terdampak oleh pandemi Covid-19, dengan berbagai kadarnya. Di lebih dari 200 negara, jumlah masyarakat yang tertular mencapai lebih dari 40 juta orang, termasuk lebih dari 1 juta orang meninggal dunia.
Sejumlah sektor ekonomi seperti transportasi, pariwisata, hiburan, otomotif, dan masih banyak lagi terdampak sangat parah (McKinsey, Standard & Poor’s), mengakibatkan ratusan juta orang kehilangan pekerjaan (World Economic Forum). Pendek kata, krisis ini sedemikian besar hingga ada yang mengatakan untuk mengatasinya diperlukan skenario pemulihan pascaperang.
Dalam situasi seperti itu, para intelektual dan pandit ekonomi makin gencar mendakwahkan etika ekonomi, agar semua pihak lebih saleh dalam perilaku ekonominya. Konsep kesalehan bisa dilihat dari terminologi yang dimunculkan seperti wellbeing economy, triple bottom line economy, doughnut economy, beyond GDP economy. Terakhir, Chairman World Economic Forum Klaus Schwab meramaikan kampanye ini dengan meluncurkan buku berjudul Stakeholder Capitalism.
Seluruh kampanye itu berisi dorongan agar para pelaku dan pengambil kebijakan ekonomi tidak terfokus pada keuntungan atau pertumbuhan PDB, tetapi kembali pada yang terpenting, yakni pembangunan kualitas hidup manusia dan lingkungannya.
Pertanyaannya, mengapa mereka gencar mengampanyekan etika ini, dan justru makin gencar di saat dunia sedang berperang melawan pandemi ini? Apa relevansinya?
Sebenarnya ini bukan kampanye baru. Pada 1970-an sudah muncul kampanye etika bisnis triple bottom line (TBL), yakni desakan agar dunia usaha berani berprinsip bahwa sebaik-baiknya bisnis adalah yang memberikan solusi dan manfaat pada manusia (people), menjaga dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup (planet). Ini sejalan dengan risalah kenabian, bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi lingkungannya.
Etika people, planet, dan profit (3P) ini berawal dari banyaknya masalah kesenjangan antara dunia bisnis dengan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Banyak perusahaan untung besar, tetapi masyarakat sekitar tetap miskin dan lingkungan rusak. Perekonomian dunia terus bertumbuh, tetapi masyarakat miskin tetap banyak, dan kehidupan terancam oleh kerusakan lingkungan.
Organisasi-organisasi internasional pun ikut berkampanye agar etika ini menjadi kebijakan publik yang memiliki kekuatan memaksa. PBB, misalnya, mengadopsi prinsip ini dalam Millennium Development Goals (MDGs), yang bertransformasi menjadi Sustainable Development Goals (SDGs), yang memerinci TBL menjadi 17 tujuan. Semua anggota PBB pun sepakat, pada 2030 hidup bersama harus lebih baik dan tidak akan ada lagi yang tertinggal.
Sejumlah negara dan korporasi merespons seruan itu dengan langkah konkret, terutama terkait energi, dengan menggenjot energi terbarukan. Per hari ini, konsumsi energi terbarukan di Islandia dan Norwegia sudah lebih dari 70% dari total konsumsi. Uni Eropa sepakat pada 2050 tidak ada lagi energi berbahan bakar fosil di sana, termasuk untuk kendaraan. Di sisi ini, Norwegia kembali berada di depan.
Satu dari empat mobil di Norwegia adalah mobil listrik; disusul oleh Swedia (20%), dan Finlandia (15%). Sementara itu, tiga perusahaan “paling hijau” menurut versi Forbes juga berasal dari Skandinavia, yakni berturut-turut Orsted, Chr. Hansen Holding (Denmark) dan Neste Oyj (Finlandia).
Dari sisi indeks pembangunan manusia, lagi-lagi Norwegia dan Irlandia berada di urutan teratas. Data PBB menyebutkan di negara-negara itu akses listrik sudah 100%, hanya 4,9% orang yang rawan kehilangan pekerjaan, ada tiga dokter dan tiga tempat tidur di rumah sakit per 1.000 penduduk, dan akses internet 100% untuk seluruh pelajar.
Akan tetapi, dibandingkan dengan problem kemanusiaan dan lingkungan yang sesungguhnya, seluruh cerita di atas bisa dibilang belum apa-apa. Di dunia ini persoalan yang sesungguhnya tidak berada di belahan utara dunia termasuk Skandinavia, tetapi terutama di bumi selatan dan Asia.
Situasi itu diperburuk oleh pandemi yang tengah berlangsung. Ketika kemiskinan datang bersama keputusasaan, memanen “aset lingkungan” bisa dijadikan jalan pintas.
Karena itu, pandemi justru merupakan momentum bukan untuk digulung perubahan, tetapi lebih proaktif melakukan great reset (Schwab: 2020), dengan membawa semangat kolaborasi antara para pemangku kepentingan. Dua pihak pertama yang diharapkan cepat mengambil langkah nyata memang pemerintah dan otoritas terkait.
Dengan kolaborasi yang katalitis diharapkan dapat dibangun ketahanan yang sistemik (Juhro, dkk., 2020). Jika kita serius dengan proactive great reset, justru ini adalah urusan transformasi mindset seluruh bangsa, yakni bagaimana mengadopsi keyakinan baru bahwa hidup bersama adalah tanggung jawab bersama, dan menempatkan pelestarian lingkungan untuk keberlanjutan pembangunan dalam kerangka itu.