Bisnis.com, JAKARTA – Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang diperkirakan baru rampung diratifikasi paling cepat pada kuartal akhir tahun ini perlu dibarengi dengan langkah-langkah jitu dalam menangkap sinyal yang bermunculan.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menilai dalam keadaan yang mesti dikecualikan karena pandemi Covid-19 seperti saat ini, kemungkinan paling cepat ratifikasi bisa dirampungkan dalam rentang 1-1,5 tahun.
"Kalau dilihat dari banyaknya dokumen yang harus dilihat kembali, serta masih harus menunggu proses negara lain, paling cepat 1-1,5 tahun. Dengan catatan, kondisi dokumen hanya tinggal dokumen formalitas saja," kata Fithra kepada Bisnis, Senin (15/2/2021).
Menurutnya, sulit bagi pemerintah untuk lebih akseleratif mengingat Indonesia dan negara-negara lain sedang fokus menangani pandemi Covid-19. Selambat-lambatnya ratifikasi RCEP rampung pada semester I/2022.
Selain itu, sambungnya, ada dampak negatif juga dari kudeta yang terjadi di Myanmar setelah kemenangan Aung San Suu Kyi dianulir oleh militer. Peristiwa naas tersebut dinilai ikut menghambat proses ratifikasi RCEP.
"Namun, sebenarnya hal yang sudah bisa kita rasakan adalah sinyalnya. Misalnya, di Vietnam yang gabung dengan Trans-Pasific Partnership [TPP], padahal sampai sekarang TPP belum di-enforce, tapi sudah ada komitmen-komitmen investasi masuk ke Vietnam dari Amerika Serikat dan negara besar lainnya," lanjutnya.
Baca Juga
Setidaknya, lanjut Fithra, pemerintah bisa memiliki pegangan berupa komitmen-komitmen investasi meskipun belum diratifikasi.
Adapun, hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja, percepatan program vaksinasi di Tanah Air, serta hal-hal positif lain yang bisa dilihat oleh para investor dari 15 negara akan menjadi penguat komitmen terhadap RCEP. Hal tersebut dinilai menjadi faktor yang mempercepat arus investasi dan perdagangan antara negara-negara RCEP.
Selain itu, Covid-19 menghadirkan momentum disrupsi sehingga Indonesia yang sebelumnya ketinggalan kembali menemukan peluang.
Sebagai contoh, peluang dari pertumbuhan yang dialami China yang membutuhkan kolaborasi dari negara-negara Asean. Beberapa peluang yang muncul bisa dilihat dari sejumlah indikator, di antaranya investasi yang mengalami peningkatan tahun ini.
"Sementara di perdagangan, ekspor ke negara-negara besar meningkat. Dengan China malah positif share-nya," jelasnya.
Indonesia disebut dalam posisi yang lumayan baik. Mengacu dari apa yang dilakukan selama 2020, sambungnya, salah satunya adalah hilirisasi industri sebagai hal yang bisa dinikmati manfaatnya dalam jangka menengah dan jangka panjang.
Sekarang, tambahnya, Indonesia sudah mulai bergerak menuju rantai nilai tambah. "Kita masih ketinggalan jelas, tetapi dengan kapasitas produksi kita yang cukup signifikan dan kompetitif, ditambah lagi implementasi Omnibus Law, hal-hal ini akan menjadi penguat daya saing," ujarnya.