Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan peternak ayam ras broiler mendesak supaya pemerintah meregulasi harga sarana produksi seperti anak ayam usia sehari (day old chick/DOC) dan pakan demi meminimalisir kerugian.
Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi mengemukakan bahwa harga jual ayam siap potong (livebird) anjlok di kisaran Rp15.000 per kilogram (kg) di Pulau Jawa karena pasokan yang lebih tinggi daripada permintaan pasar. Pada saat yang sama, harga pokok produksi telah menyentuh Rp19.300 per kg akibat kenaikan harga DOC dan pakan.
“Harga DOC sudah menyentuh Rp7.300 per ekor dan pakan sudah mencapai Rp6.800 per kilogram. Jauh menyimpang dari Permendag,” kata Sugeng saat dihubungi, Selasa (2/2/2021).
Harga ideal yang dimaskud Sugeng merujuk pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7/2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Dalam beleid tersebut harga batas bawah DOC adalah Rp5.000 per ekor dan harga batas atasnya Rp6.000 per ekor.
Namun, regulasi harga acuan tersebut hanya berlaku selama empat bulan sejak diundangkan pada 10 Februari 2020. Artinya, tidak ada payung hukum mengenai harga acuan untuk saat ini.
Sugeng menduga kenaikan harga DOC disebabkan oleh kebijakan pengendalian populasi untuk stabilisasi harga yang diinisiasi oleh pemerintah. Selama kurun 26 Agustus 2020 sampai Januari 2021, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian telah enam kali menerbitkan surat edaran untuk pengurangan populasi demi menyeimbangkan kondisi permintaan produk unggas yang turun 20 persen selama pandemi.
Baca Juga
“Kami dengar karena pemangkasan populasi berefek ke kenaikan DOC. Hanya saja yang menjadi masalah adalah naiknya tidak terkendali,” kata dia.
Sugeng mengatakan bahwa solusi permasalahan fluktuasi harga livebird tetap berada pada keseimbangan pasokan dan permintaan karena peternak mandiri belum bisa secara optimal mengimplementasi sistem rantai dingin pascapanen.
“Selama ini kami masih bergantung ke pasar basah, ke pasar tradisional. Hanya saja kami kerap diganggu pasokan berlebih dari peternakan skala besar yang seharusnya masuk ke rantai dingin,” kata Sugeng.
Mengingat implementasi rantai dingin bagi peternak mandiri masih belum optimal, Sugeng mengatakan bahwa keseimbangan pasokan juga bisa dicapai dengan menetapkan alokasi impor grand parent stock (GPS) ayam broiler yang sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian, kelebihan populasi yang kerap terjadi bisa dikurangi.
“Untuk sekarang yang rantai dinginnya harus diimplementasi adalah peternakan besar dan integrator, sejauh ini banyak yang belum menjalankan,” lanjutnya.
Nilai impor GPS dengan kode HS 01051110 tercatat mengalami kenaikan signifikan dari 2017 ke 2018 dengan nilai US$23,94 juta menjadi US$31,07 juta. Sementara itu, pada 2019 dan 2020 nilai impor cenderung datar, masing-masing di angka US$31,21 juta dan US$31,79 juta.
Direktur Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian Sugiono mengemukakan bahwa alokasi untuk impor GPS pada 2021 tetap akan mengacu pada proyeksi konsumsi per kapita yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS).
Selain itu, pemasukan GPS pun diikuti dengan syarat pembangunan infrastruktur hilir melalui pembangunan rumah potong hewan unggas dan rantai dingin sebesar produksi hasil turunan GPS secara bertahap selama 5tahun.