Bisnis.com, JAKARTA – Target pemerintah untuk menggeliatkan perdagangan dalam negeri agar mendorong pemulihan ekonomi pada 2021 diyakini bakal berat.
Salah satu target yang dipatok adalah pertumbuhan sebesar 4,8 persen pada perdagangan besar dan eceran bukan mobil dan motor yang menjadi domain Kementerian Perdagangan. Sampai kuartal III 2020, sektor lapangan usaha ini tercatat terkoreksi 0,97 persen dibandingkan dengan Januari—September 2019.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W. Kamdani berpendapat potensi pemulihan dari sisi perdagangan dalam negeri cenderung memiliki ketidakpastian yang lebih tinggi dibandingkan dengan perdagangan luar negeri. Ketidakpastian ini makin dirasakan dengan pengetatan aktivitas yang diberlakukan pemerintah pada pembuka 2021.
“Kita masih tidak tahu seberapa realistis target tersebut karena faktor ketidakpastian terbesar kita adalah timeline untuk melakukan normalisasi ekonomi,” kata Shinta, Minggu (17/1/2021).
Dia berpendapat target ini terlampau ambisius dalam skenario normalisasi perekonomian belum bisa diterapkan pada pertengahan tahun. Tetapi jika sektor usaha, terutama perdagangan, bisa lebih leluasa bergerak pada semester I, dia meyakini target tersebut tak sulit dicapai.
“Tetapi untuk mencapai target harus menggenjot investasi dan penciptaan lapangan kerja secara maksimal. Hampir mustahil kita bisa meningkatkan confidence konsumsi untuk mencapai pertumbuhan yang sedemikian tanpa penciptaan lapangan kerja yang cukup besar tahun ini,” kata dia.
Baca Juga
Pernyataan Shinta bukan tanpa alasan, sebagai salah satu lapangan usaha dengan sumbangan besar ke PDB, sektor ini erat kaitannya dengan konsumsi rumah tangga yang sampai September 2020 terkontraksi 2,29 persen.
Data Nielsen Retail Audit bahkan menunjukkan bahwa sektor perdagangan eceran turun 4,9 persen sampai September 2020 setelah pada periode sebelumnya masih bisa tumbuh 2,5 persen.
Selain tugas berat menggenjot perdagangan dalam negeri, Shinta juga mengemukakan bahwa target kontribusi produk lokal terhadap total konsumsi rumah tangga terbilang ambisius. Terlebih jika melihat ketergantungan bahan baku impor pada pangan yang terbilang besar.
Shinta mengatakan konsumen kerap dirugikan karena harga produk dalam negeri kalah bersaing dari sisi harga. Karena itu, dia menyarankan Kementerian Perdagangan dan kementerian terkait dapat meningkatkan efisiensi produk.
“Harga produk dalam negeri setidaknya harus sama dengan harga impor untuk produk dengan kualitas yang sama,” kata dia.
Dalam hal ini, Shinta menyebutkan pekerjaan rumah Kementerian Perdagangan lainnya adalah menyangkut rantai pasok barang yang telah menjadi masalah menahun. Kendala konsumsi produk lokal, lanjut Shinta, selama ini juga berkutat pada besarnya biaya logistik yang bahkan bisa lebih tinggi dari biaya impor.
“Akan lebih realistis apabila masyarakat didorong untuk mengkonsumsi produk yang diproduksi secara lokal sehingga biaya logistik tidak terlalu tinggi, konsumen juga tidak dibebani kenaikan harga di pasar atau penurunan kualitas,” kata dia.
Namun, perjalanan menuju kondisi ideal itu diakuinya bakal memerlukan investasi besar di daerah, terutama di daerah yang sumber pertumbuhan ekonominya tidak terdiversifikasi. Meski memungkinkan, target kontribusi produk lokal sebesar 94,3 persen memang masih jauh dari realisasi.