Bisnis.com, JAKARTA — Organisasi nirlaba Koaksi Indonesia menyoroti masih adanya kesenjangan dalam implementasi penggunaan biodiesel untuk transportasi bersih dan berkelanjutan.
Knowledge Management Coordinator Koaksi Indonesia Muhammad Ridwan Arif mengatakan bahwa sejumlah kesenjangan terjadi dari sektor lingkungan dan ekonomi.
Dari sektor lingkungan, kesenjangan implementasi yang dimaksud adalah belum adanya standar keberlanjutan pada industri bahan bakar nabati (BBN) dan potensi penambahan luas lahan sawit.
"Belum ada standarnya, yang ada baru dari sisi hulu, khususnya bahan baku dari sawit. Tahun 2025 ditargetkan semua kebun sudah tersertifikasi ISPO," ujarnya dalam diskusi daring, Kamis (7/1/2021).
Dia menuturkan bahwa Indonesia memiliki total 14,33 juta hektare lahan perkebunan sawit. Dari jumlah itu, baru 5,45 juta hektare yang sudah tersertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil atau baru 38,03 persen dari total lahan perkebunan sawit, sedangkan dari sisi ekonomi, implementasi biodiesel juga masih terdapat kesenjangan. Salah satunya terkait dengan insentif yang dikucurkan untuk program biodiesel.
Menurutnya, biaya yang diperlukan untuk insentif biodiesel selama pandemi semakin membengkak. Hal ini disebabkan harga indeks pasar (HIP) solar mengalami tren penurunan, sedangkan HIP biodiesel mengalami kenaikan.
Baca Juga
"HIP biodiesel dan HIP solar kalau makin jauh, makin besar subsidi yang diberikan pemerintah. Sejak pandemi kesenjangan makin tinggi sehingga dana APBN makin besar sampai Rp2,78 triliun untuk biodiesel ini tetap jalan. Ini perlu kajian lebih lanjut," kata Ridwan.