Bisnis.com, JAKARTA - Realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2020 mengalami defisit Rp956,3 triliun atau 6,09 persen dari PDB.
Angka defisit ini masih di bawah target. Pasalnya, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 72/2020, defisit APBN Rp1.039,2 triliun. Sementara dari PDB 6,34 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan bahwa capaian yang tak melewati batas atas memiliki nilai baik dan buruk. Dari sisi kebutuhan anggaran, APBN memang bisa ditekan.
“Tapi bagi ekonomi ini tidak sebaik APBN. Karena defisit diperlebar untuk selamatkan ekonomi. Jadi yang harus diselamatkan ekonomi. Kalau defisit mencapai target, pertanyaannya apa program penyelamatan ekonomi akibat pandemi berjalan efektif atau masih banyak catatan?” katanya saat dihubungi Bisnis, Rabu (6/1/2021).
Faisal menjelaskan bahwa dilihat dari realisasi program pemulihan ekonomi nasional (PEN), ada sektor krusial yang tidak maksimal serapannya, terutama dari sisi kesehatan. Padahal itu penyebab utama resesi ekonomi.
Inilah yang menjadi pekerjaan rumah terbesar pemerintah pada 2021. Penanganan pandemi jadi yang paling krusial. Yang tidak perlu dan bukan untuk penyelamatan jangka pendek harus disingkirkan.
Baca Juga
Kemudian dari sisi efektivitas program-program penyelamatan ekonomi yang dijalankan menjadi salah satu pertimbangan baik atau tidaknya upaya pemerintah. Jika defisit APBN melebar tapi bisa menyelamatkan ekonomi tentu sangat baik.
Tapi jika dievaluasi dari 2020, Faisal menilai rapornya merah. Contohnya bantuan sosial tidak tepat sasaran. Program kartu prakerja yang seharusnya diberikan kepada korban PHK, 60 persen diterima kepada mereka yang masih bekerja.
“Nah, itu kan tidak sesuai. Itu yang seharusnya dihindarkan. Artinya pembiayaan pemerintah itu diperuntukkan tidak untuk menyelamatkan ekonomi dengan efektivitas yang tinggi,” jelasnya.