Bisnis.com, JAKARTA - Gelombang utang dunia menjadi tak terelakkan seiring pembiayaan besar-besaran pemerintah untuk mendanai ekonomi yang terpukul pandemi.
Di tengah harapan pemulihan usai dimulainya distribusi vaksin, utang dunia diperkirakan masih akan meningkat pada tahun ini. Hal itu terutama karena pemerintah perlu mempertahankan pengeluaran untuk menopang pemulihan ekonomi yang masih rapuh, sementara pendapatan menurun karena resesi.
"Pandemi telah memperburuk risiko utang di pasar negara berkembang. Prospek pertumbuhan yang lemah kemungkinan akan semakin meningkatkan beban utang dan mengikis kemampuan peminjam untuk membayar utang," kata Pelaksana Tugas Wakil Presiden Bank Dunia, Ayhan Kose dalam keterangannya, Rabu (6/1/2021).
Deputi Pertama Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Geoffrey Okamoto mengatakan bahwa utang bukanlah persoalan baru. Pada 2016, IMF menghitung total utang perusahaan nonfinansial sebesar US$152 triliun atau 225 persen dari PDB dunia. Sedangkan utang pemerintah telah meningkat hingga 15 poin persentase terhadap PDB antara 2000 hingga 2015.
Dibandingkan dengan proyeksi sebelum pandemi, rata-rata utang pada 2021 diprediksi akan meningkat sekitar 17 persen dari PDB di negara maju, 12 persen di negara berkembang, dan 8 persen di negara berpenghasilan rendah.
Semua negara menghadapi kondisi dilematis yang sama. Di satu sisi pengeluaran untuk memerangi pandemi dan melindungi pendapatan masyarakat melambung tinggi. Di sisi lain, pendapatan negara terpangkas karena resesi yang dipicu segala tindakan untuk menekan infeksi.
Baca Juga
"Ketika pandemi berkecamuk di seluruh dunia, utang merupakan kondisi yang sudah ada sebelumnya dan sangat serius," katanya.
Okamoto menjelaskan, sejauh ini dunia berhasil terhindar dari krisis utang sistemk karena dua hal. Pertama, suku bunga rendah dan dukungan kebijakan moneter yang masif. Kedua, dukungan keuangan langsung, termasuk pembiayaan darurat IMF untuk 76 negara serta penangguhan pembayaran utang dari negara G20 kepada ekonomi paling rentan, disebut pula debt service suspension initiative (DSSI).
"Krisis utang sistemik yang dipicu oleh pandemi tidak dapat dikesampingkan. Semakin lama masalah ditunda, semakin buruk jadinya," ujarnya.
Menanggulangi hal tersebut, Okamoto menyerukan program DSSI untuk diperpanjang paling tidak hingga 12 bulan. Sebelumnya G20 sepakat untuk memperpanjang tenggat DSSI hingga akhir Juni 2021, setelah sebelumnya ditetapkan pada akhir 2020.
"Komunitas global perlu bertindak cepat dan tegas untuk memastikan penumpukan utang belakangan ini tidak berakhir dengan serangkaian krisis utang," kata Ayhan Kose.