Bisnis.com, JAKARTA – Upaya peningkatan ekspor pada 2021 menghadapi tantangan seiring semakin protektifnya negara mitra dagang lewat pemanfaatan instrumen trade remedies.
Meski demikian, pelaku usaha di dalam negeri tetap melihat peluang untuk menggenjot ekspor produk yang rawan diganjar trade remedies.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan produksi biodiesel Indonesia pada 2021 berpotensi meningkat 25 sampai 30 persen seiring dengan bertambahnya kapasitas pabrik produksi. Sebaliknya, serapan domestik di dalam negeri diperkirakan menurun.
Turunnya konsumsi ini membuka peluang akan ekspor untuk produk biodiesel. Sebagaimana diketahui, sepanjang 2020 Indonesia sama sekali tak melakukan eksportasi karena serapan domestik mencapai 9,6 juta kiloliter.
“Kapasitas biodiesel pada 2021 akan meningkat dan kami produsen akan mencari pasar yang kuat karena konsumsi dalam negeri diperkirakan berkurang. Dalam hal ini kami akan konsultasi ke Direktorat Pengamanan Perdagangan soal potensi trade remedies,” kata Paulus, Selasa (29/12/2020).
Produk biodiesel RI memang menjadi salah satu komoditas dengan hambatan dagang yang besar. Catatan Bisnis menunjukkan bahwa produk ini diganjar tuduhan subsidi dan dumping oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa. Nilai ekspor produk ini ke Eropa sempat menyentuh US$532,50 juta dan US$255,56 juta ke pasar Amerika Serikat.
Baca Juga
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta mengemukakan produk tekstil Indonesia masih berpeluang menggenjot ekspor dengan memanfaatkan tren pasar ke depan. Dia menjelaskan pasar tekstil akan mengarah pada kebutuhan pakaian medis dan pakaian ramah lingkungan.
“Memang tren selama pandemi banyak negara yang protektif, tetapi ada peluang dari dua aspek ini. Untuk sisi pakaian medis kita sudah siap dari sisi hulu sementara aspek sustainability terus digenjot,” kata Redma.
Seperti biodiesel, produk tekstil Indonesia pun rentan menghadapi trade remedies. Redma mengatakan sampai saat ini eksportir Indonesia harus menghadapi tarif tambahan di Turki, India, dan Brasil akibat pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) dan tindak pengamanan (BMTP). Di sisi lain, surplus neraca perdagangan tekstil Indonesia pun disebutnya makin tergerus.
“Saya rasa ke depan tata niaga tekstil harus dibenahi. Terutama antisipasi produk China. Kapasitas mereka besar sehingga mau tidak mau harus ekspor. Dalam hal ini mereka akan menyasar pasar yang tak diproteksi seperti Indonesia,” kata Redma.