Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Naik 100 Persen, RI Hadapi 37 Kasus Baru Trade Remedies Selama Pandemi

Semakin tereksposnya suatu negara dalam perdagangan global dengan penurunan tarif, maka hambatan nontarif akan dipilih sebagai alternatif untuk melindungi pasar dalam negeri.
Aktivitas bongkar muat di kawasan Tanjung Priok, belum lama ini. Akibat faktor perdagangan internasional yang belum pulih itu, pada 2016, JICT hanya menargerkan produktivitas bongkar muat dengan volume 2,3 juta atau 2,4 juta twenty foot equivalent units (TEUs). JIBI/BISNIS/Nurul Hidayat
Aktivitas bongkar muat di kawasan Tanjung Priok, belum lama ini. Akibat faktor perdagangan internasional yang belum pulih itu, pada 2016, JICT hanya menargerkan produktivitas bongkar muat dengan volume 2,3 juta atau 2,4 juta twenty foot equivalent units (TEUs). JIBI/BISNIS/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia menghadapi lonjakan kasus baru trade remedies sepanjang 2020. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa dari 47 kasus yang masih ditangani, 37 di antaranya merupakan inisiasi baru dari mitra dagang RI.

Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengemukakan jumlah kasus baru ini meningkat 100 persen dibandingkan pada masa sebelum pandemi. Dia mengatakan rata-rata jumlah kasus yang ditangani per tahun hanya berkisar 14-20 kasus.

“Sebelum pandemi secara rata-rata kami menangani 14 kasus, paling banyak 20 kasus. Sekarang lonjakannya benar-benar 100 persen untuk masa pandemi,” kata Pradnyawati dalam webinar, Selasa (29/12/2020).

Meningkatnya kasus yang dihadapi Indonesia selama pandemi, menurut Pradnyawati, adalah sinyal bahwa negara mitra dagang tetap agresif menginisiasi trade remedies. Di sisi lain, inisiasi pun tercatat marak dilakukan oleh negara-negara destinasi ekspor utama yang telah menjalin kerja sama perdagangan dengan Indonesia.

Negara-negara anggota Asean seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina tercatat menyumbang 12 kasus trade remedies baru yang dihadapi Indonesia. Posisi mereka disusul India dengan 7 inisiasi baru dan Amerika Serikat sebanyak 4 kasus baru.

“Jadi sekarang penggunaan trade remedies ini bukan saja dilakukan oleh negara maju, namun negara berkembang bahkan negara Asean sebagai dampak dari deglobalisasi,” paparnya.

Meski liberalisasi perdagangan juga marak dipilih berbagai negara lewat lahirnya kesepakatan dagang, Pradnyawati mengatakan bahwa langkah tersebut tidak datang tanpa risiko. Menurutnya, semakin tereksposnya suatu negara dalam perdagangan global dengan penurunan tarif, maka hambatan nontarif akan dipilih sebagai alternatif untuk melindungi pasar dalam negeri.

Di sisi lain, pengenaan instrumen trade remedies pun berpotensi marak dipakai oleh mitra dagang RI dengan neraca perdagangan yang defisit.

Sebagai contoh, Amerika Serikat yang mengalami defisit dagang senilai US$950 juta pada November 2020 telah menginisiasi 4 kasus trade remedies terhadap Indonesia sepanjang 2020. Sebaliknya, Filipina yang menderita defisit US$520 juta pada November telah memulai inisiasi 6 trade remedies

“Mereka akan lebih intens menggunakan instrumen trade remedies. Oleh karena itu kita harus antisipasi dan ini sudah terbukti oleh Amerika Serikat dan India,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper