Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) mengapresiasi dukungan pemerintah melalui serangkaian kebijakan pada 2020.
Kebijakan pemerintah itu dinilai semakin meningkatkan kinerja industri oleokimia untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor pasar global.
Ketua Umum APOLIN Rapolo Hutabarat mengatakan perkembangan industri oleochemical Indonesia sepanjang 2020 tumbuh dengan positif. Hal itu sejalan dengan kebijakan pemerintah yang sangat responsif di Maret lalu melalui Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) setelah adanya pandemi Covid-19.
"Dengan adanya IOMKI tersebut maka pasokan bahan baku, proses produksi, logistik dan pengiriman ke pasar ekspor dan pasar di dalam negeri berjalan dengan lancar," katanya, Jumat (25/12/2020).
Di pasar domestik, produksi sepanjang tahun ini berada pada level 150.000 ton per bulan sehingga volume konsumsi produk oleokimia di pasar domestik berkisar 1,8 juta-2 juta ton.
Tren positif juga terlihat dalam perdagangan ekspor oleokimia Indonesia sepanjang 2020. Data Badan Pusat Statistik untuk ekspor produk oleokimia dengan 15 HS Code menunjukkan volume ekpor produk oleokimia dari Januari-November 2020 mencapai 3,5 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$2,4 miliar.
Baca Juga
Capaian itu lebih tinggi dibandingkan periode sama 2019 masing-masing volume ekspor 3 juta ton dan nilai ekspor oleokimia sebesar US$1,9 miliar. Hingga akhir tahun 2020 pun, volume ekspor diproyeksikan sebesar 3,87 juta ton sedangkan nilai ekspornya sebesar US$2,6 miliar.
Di sisi lain, Rapolo menambahkan adanya PMK 191/2020 telah menjadi oase bagi semua pemangku kepentingan industri sawit di Indonesia mulai dari sektor hulu (petani, perkebunan dan perkebunan terintegrasi), mid downstream (refinery) dan further downstream (produsen FAME dan produsen oleochemical) termasuk pemerintah.
Menurutnya, PMK 191/2020 memberikan empat benefit bagi industri sawit. Pertama, adanya kepastian penghimpunan dana yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapsa Sawit (BPDPKS), yang dapat digunakan untuk berbagai hal di industri sawit.
Diantaranya adalah Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang perlu ditingkatkan luasnya dari 180.000 hektar menjadi 500.000 hektar per tahun mulai 2021, kesinambungan pendanaan riset-riset industri sawit, program bea siswa, pendanaan promosi, dan advokasi.
Kedua, pelaku usaha dan pemerintah untuk melanjutkan program mandatori B30 yang bisa dilanjutkan menjadi B40 bahkan B50.
Ketiga, program B30 saat ini merupakan tulang punggung utama industri sawit Indonesia karena menyerap 9,6 juta KL FAME.
Keempat, momentum paling besar dari terbitnya PMK 191/2020 yang dapat dikatakan sebagai persiapan implementasi program B40 yangakan menyerap CPO di dalam negeri kira-kira 12 juta-13 juta ton yang artinya adanya penambahan konsumsi CPO di dalam negeri sebesar kira-kira 2,8 juta-3 juta ton.
Potensi peningkatan ini diakuinya harus ditangkap dan diterjemahkan sebagai salah satu strategi jitu industri sawit Indonesia guna menghadapi pasar global yang selalu menyudutkan industri sawit Indonesia.
“Dari sisi industri oleochemical Indonesia, kami memandang bahwa langkah pemerintah sudah sangat tepat karena dengan kenaikan pungutan ini maka menjamin tersedianya bahan baku industri oleokimia dan akan mendorong adanya investasi. Sebagai informasi bahwa tahun ini ada investasi baru yang akan meningkatkan volume produksi nasional 2021,” ujar Rapolo.