Bisnis.com, JAKARTA — Konsep sentralisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) atau Free Trade Zone (FTZ) sudah tidak relevan lagi ketika industri yang ada di wilayah tersebut justru berkompetisi dengan industri sejenis di dalam negeri.
Direktur National Maritime Institute (NAMARIN) Siswanto Rusdi mengatakan sebaran galangan kapal nasional sampai saat ini tidak merata. Dari 141 pelabuhan di Indonesia yang dikelola BUMN pelabuhan, hanya 20 persen di antaranya yang memiliki galangan kapal. Sebagian besar terpusat di Batam, Tanjung Priok (Jakarta), dan Surabaya.
“Bagaimana bisa relevan ketika misalnya industri kapal dan galangan yang sudah menyebar di banyak wilayah kemudian harus menerima kenyataan harus berkompetisi dengan galangan kapal di Batam yang menerima insentif tersebut,” katanya, Jumat (25/12/2020).
Siswanto menyebut dalam kajian yang dilakukan PT PAL 2016 pasca diterapkannya Peraturan Pemerintah 10/2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, jelas terlihat adanya ketidakadilan yang terjadi akibat sistem perpajakan yang diterapkan.
Menurutnya, saat ini industri kapal dan galangan di wilayah Batam cukup membayar pajak 1,5-3 persen. Sebaliknya, pengusaha kapal dalam negeri di luar wilayah Batam, harus menanggung pajak hingga 19-30,5 persen atau jauh lebih mahal dibandingkan impor kapal yang hanya dikenai pajak sekitar 12,5-17,5 persen.
“Kondisi ini menyebabkan galangan kapal di Indonesia yang padat teknologi, modal dan tenaga kerja kesulitan bergerak sehingga menyebabkan daya serap bahan baku utama mereka yakni baja ikut tersendat,” ujar Siswanto.
Baca Juga
Dalam kondisi seperti ini, ia menilai mestinya pemerintah memikirkan ulang konsep KEK atau FTZ dengan kembali pada konsep klasterisasi industri yang bertujuan mengintegrasikan industri.
Sebagai contoh, Siswanto mengemukakan industri galangan seharusnya berdekatan dengan pelabuhan dan industri baja sebagai bahan baku. Selain itu idealnya, dalam kondisi saat ini semestinya diberikan insentif terhadap industri-industri yang saling berkaitan.
Sementara jika pemerintah bersikeras mempertahankan konsep KEK maupun FTZ maka pemerintah semestinya tegas. Apalagi hasil penyelidikan mendalam yang dilakukan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dinyatakan bahwa pelaku usaha dari luar negeri telah terbukti mengakibatkan kerugian pada industri dalam negeri.
Di samping itu, lanjutnya, pengenaan Bea Masuk Atas Dumping (BMAD) perlu dilakukan agar tidak merugikan pelaku usaha asing yang telah berinvestasi dan industri dalam negeri serta negara secara terus menerus.
Adapun berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2018, disebutkan bahwa dengan belum dikenakannya bea masuk anti dumping oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) terhadap pengeluaran bahan baku dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP), negara berpotensi dirugikan sebesar Rp34 miliar.
Akademisi Universitas Internasional Batam Suyono Saputra yang melakukan riset mendalam terhadap strategi manajemen di kawasan perdagangan bebas di Batam, Bintan, dan Karimun pun menilai penerapan KEK dan FTZ keliru karena ketidaktegasan pemerintah.
Menurutnya, penerapan KEK dan FTZ jadi salah arah karena insentif yang seharusnya ditujukan untuk memacu produksi bertujuan ekspor justru bertarung dengan produk lokal sejenis. Untuk itulah, makanya produsen lokal menjerit.
Dalam kasus industri kapal dan galangan, ia juga mendapati ketidaktegasan pemerintah ketika membiarkan bahan baku dan hasil produksi yang ditujukan bagi pasar lokal justru tidak dikenai pajak yang seharusnya.
“Wajar jika produsen bahan baku baja dalam negeri hingga industri kapal dan galangan di luar Batam menjerit ketika harus berhadapan dengan industri sejenis di Batam yang mendapat beragam insentif. Kalau mau adil ya pemerintah menerapkan pajak yang benar,” katanya.