Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkapkan penurunan jumlah temuan produk pangan yang tidak sesuai ketentuan menjelang liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru). Transaksi daring diduga menjadi salah satu penyebabnya.
Kepala BPOM Penny K. Lukito menilai salah satu pendorong volume transaksi tersebut adalah perubahan transaksi pangan olahan menjadi secara daring.
"Jadi, pembelian pangan olahan kebanyakan ke daring. Ini akan menarik untuk melihat perbedaan gaya hidup transaksi daring dan dampaknya ke risiko mengonsumsi produk ilegal," katanya dalam konferensi pers di Gedung BPOM, Rabu (23/12/2020).
Oleh karena itu, pembatasan pengawasan akhir tahun menjadi hanya sampai pihak distributor. Selain itu, pihaknya akan mulai meningkatkan pengawasan di pasar daring pada 2021.
Penny akan melantik Direktur Siber yang akan bertugas di bawah Kedeputian Penindakan pada pekan terakhir 2020. Tugas utama direktorat anyar ini adalah mengawasi peredaran pangan olahan di dunia siber nasional.
Penny berpendapat pendirian direktorat tersebut penting mengingat adanya indikasi peredaran pangan ilegal melalui transaksi daring. "Kalau dulu [fokus penindakan] kosmetik palsu. Kalau sekarang [transaksi daring]. Melihat ada perpindahan seperti itu, saya kira ini suatu normal baru," katanya.
Adapun, pendorong penurunan volume sitaan kedua adalah penurunan daya beli masyarakat. Seperti diketahui, pandemi Covid-19 menyebabkan meningkatnya rasio pengangguran nasional hingga lebih dari 9 persen.
Tahun ini, BPOM memeriksa 2.687 sarana distribusi pangan dan menemukan 982 sarana distribusi yang tidak memenuhi ketentuan (TMK). Adapun, angka TMK tersebut lebih rendah dari realisasi tahun lalu yang mencapai 1.152 unti atau 43,24 persen dari total sarana yang diperiksa.
Selain itu, pelanggaran yang mendominasi pada tahun ini adalah produk kedaluwarsa, yakni mencapai 60.656 kemasan atau 63,07 persen dari total kemasan yang melanggar. Walaupun persentasi produk kedaluwarsa meningkat, jumlah kemasan yang disita turun 25,24 persen dari realisasi tahun lalu sebanyak 81.138 kemasan kadaluarsa.
Selain itu, nilai produk yang TMK pada tahun ini hanya mencapai Rp2,05 miliar atau turun sekitar 48,36 persen dari realisasi intensifikasi Nataru 2019 senilai Rp3,97 miliar . Penny menilai hal tersebut salah satunya disebabkan oleh perubahan inspeksi dari langsung di lapangan menjadi gabungan antara inspeksi langsung dan daring.
Penny menilai nilai produk TMK pada tahun ini dapat lebih besar. Pasalnya, produk kadaluarsa mendominasi kontribusi produk TMK dapat menimbulkan kerugian langsung terhadap konsumen.