Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) menyatakan kegiatan impor saat ini penting dilakukan untuk mendapatkan bahan baku plastik. Pasalnya, ketersediaan bahan baku di dalam negeri minim dan harga yang ditawarkan tidak kompetitif.
Sekretaris Jenderal Aphindo Henry Chevalier mendata saat ini harga bahan baku plastik on the spot telah mencapai US$20.000 per ton, sedangkan dengan metode pesan berada di sekitar level US$19.000 per ton. Sementara itu, harga bahan baku impor saat ini ada di posisi US$18.900 per ton.
"[Tapi,] ketersediaan bahan baku plastik impor langka. Pertama, pengiriman dari negara asal impor sulit karena masalah kontainer. Kedua, kondisi cuaca tidak kondusif. Itu yang jadi masalah," ucapnya kepada Bisnis, Selasa (22/12/2020).
Henry mendata sejauh ini harga bahan baku di dalam negeri dan di kawasan Asia Tenggara telah naik sekitar 10 persen. Sementara itu, bahan baku mendominasi biaya produksi hingga 60 persen.
Henry menilai harga bahan baku menjadi tambah penting mengingat pasar plastik hilir di dalam negeri sedang menyusut. Dengan kata lain, kemampuan pabrikan dalam menghadapi fluktuasi harga menjadi terbatas.
Berdasarkan catatan Aphindo, penjualan produk plastik hilir di dalam negeri anjlok sekitar 35-40 persen secara tahunan. Adapun, volume produksi industri hilir plastik merosot sekitar 10-20 persen secara tahunan.
Baca Juga
Sementara itu, Henry meramalkan harga bahan baku pada 2021 berpotensi kembali naik sebesar 5 persen menjadi US$21.000 per ton. "Hampir 60 persen biaya produksi berasal dari bahan mentah. Kalau 60 persen itu harganya naik, bangkrut kami," ucapnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono meramalkan volume produksi industri plastik sepanjang 2020 masih akan tumbuh negatif. Menurutnya, volume produksi industri plastik akan tumbuh minus 2,5 persen secara tahunan.
"Di hilirnya,[seperti] pasar tradisional, masih belum tumbuh bagus. Kemudian, industri yang berhubungan dengan pariwisata dan pesta belum banyak [pemulihan]," ucapnya.
Salah satu indikasi yang Fajar contohkan adalah utilisasi air minum dalam kemasan (AMDK) gelas yang masih berada di bawah 40 persen.
Namun demikian, Fajar mengamati permintaan domestik mulai kembali terbentuk. Pada saat yang bersamaan, prosedur ekspor produk petrokimia ke beberapa negara, khususnya China, menjadi sulit.