Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan pemerintah seharusnya sudah mengakomodasi aspirasi dan komplain dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pekerja, dalam pembahasan RPP Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"Dalam pembahasan RPP UU Ciptaker, mestinya pemerintah sudah mengakomodasi asipirasi dan komplain dari berbagai pihak, termasuk dari buruh. Jadi, tidak bersikap defensif dan terburu-buru," ujar Faisal kepada Bisnis.com, Minggu (13/12/2020).
Menurut Faisal, dalam kondisi pandemi Covid-19, di mana suplai lapangan kerja menurun dan angka pengangguran meningkat, bargaining position pekerja dinilai menjadi lebih rendah. Sebaliknya, ekspektasi pekerja tetap tinggi dengan adanya UU Ciptaker.
"Ini bisa menimbulkan instabilitas dan bisa menganggu iklim usaha," kata Faisal.
Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah diminta mampu memastikan investasi yang diharapkan masuk ke Indonesia ketika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) diimplementasikan benar-benar baik secara kuantitas maupun kualitas.
Investasi yang nantinya masuk, tidak hanya menciptakan lapangan pekerjaan, tetapi juga menciptakan kualitas kerja yang setara, terutama untuk perihal pengupahan. Perhatian pemerintah pun diharapkan juga tertuju kepada hal tersebut.
Dia menambahkan, potensi hambatan pemulihan pasar kerja di Indonesia sudah muncul jauh sebelum UU Ciptaker disahkan. Sampai dengan draf terakhir disahkan, lanjutnya, terlihat masih banyak terjadi resistensi mengenai sejumlah hal, di antaranya mengenai upah dan kontrak.