Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk mengurangi porsi penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara guna meningkatkan kapasitas pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan.
Terdapat dua opsi yang tengah dipertimbangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mengurangi penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berasal dari batu bara.
Opsi pertama, yakni mengganti PLTU tua yang sudah berusia 20 tahun— 25 tahun dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Opsi kedua adalah mendorong pencampuran biomassa dengan batu bara sebagai bahan bakar PLTU yang telah beroperasi atau disebut co-firing biomassa.
Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Jisman Hutajulu mengatakan bahwa opsi konversi PLTU dengan PLTS masih dalam tahap pengkajian. Pihaknya juga masih mengkaji jumlah PLTU yang berpotensi untuk diganti.
"Masih perlu dikaji," katanya ketika dihubungi Bisnis, Kamis (3/12/2020).
Baca Juga
Opsi pengurangan pemanfaatan PLTU tersebut diperlukan lantaran pemerintah memiliki target untuk mencapai porsi energi baru terbarukan (EBT) pada bauran energi sebesar 23 persen pada 2025.
Jisman mengatakan bahwa untuk mencapai target bauran EBT tersebut dibutuhkan setidaknya penambahan kapasitas pembangkit EBT lebih dari 10 gigawatt (GW). Di sisi lain, permintaan listrik menurun signifikan akibat pandemi Covid-19.
Porsi batu bara dalam bauran energi ditargetkan akan berkurang dari 54,60 persen pada 2025 menjadi 46,90 persen pada 2038, sedangkan porsi EBT akan ditingkatkan dari 23 persen pada 2025 menjadi 28 persen pada 2038.