Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai kenaikan dana pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) akan makin menyejahterakan petani. Pasalnya, hal tersebut akan memperkuat Badan Pengelola Dana Potongan Kelapa Sawit (BPDP-KS) dalam menjalankan programnya.
Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyatakan BPDP-KS telah membantu petani dalam meningkatkan produktivitas pohon melalui program replanting. BPDP-KS juga menjaga harga tandan buah segar (TBS) tetap tumbuh beberap tahun terakhir dengan adanya subsidi pada industri biodiesel.
"Tak perlu bangga dengan ekspor CPO, tapi bangga dengan peningkatan produk turunan dalam negeri. [Pasalnya,] ini akan berdampak pada harga TBS," ujar Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung kepada Bisnis, Jumat (27/11/2020).
Pemerintah telah menaikkan tarif pungutan atas ekspor kelapa sawit, crude palm oil, dan produk turunannyaa melalui PMK No 57/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPDPKS. Peraturan ini mulai berlaku mulai 1 Juni 2020.
Gulat menyatakan penaikan dana pungutan ekspor CPO menjadi US$55 per ton akan berdampak pada produktivitas kebun yang menapung 21 juta petani sawit. Menurutnya, program replanting yang didorong oleh BPDP-KS telah menaikkan produktivitas pohon dari sekitar 1,1 ton-1,4 ton per hektar menjadi 2,8-3 ton per hektar.
Gulat mengakui bahwa kenaikan dana pungutan (DP) ekspor CPO akan memngurangi harga TBS sekitar Rp90-Rp105 per Kilogram. Namun demikian, DP ekspor CPO tersebut telah menaikkan harga TBS menjadi RM2.100 per ton dari posisi akhir 2019 di sekitar RM1.500 per ton.
Baca Juga
Seperti diketahui, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) berharap agar pemerintah mencari alternatif lain, selain peningkatan DP ekspor CPO untuk meningkatkan hilirisasi. Adapun, salah satu saran yang diusulkan adalah menyubsidi selisih antaran harga solar dan CPO melalui anggaran pengeluaran dan belanja negara (APBN)
Menanggapi hal tersebut, Gulat menyatakan bahwa kenaikan DP ekspor CPO akan dibebankan pada petani. Pasalnya, kenaikan DP ekspor CPO akan berdampak langsung pada harga TBS.
"Saya pikir, sawit Indonesia harus jadi pahlawan [pada masa pandemi]. Jadi, tidak usah terlalu menuntut ini dan itu. [Selain itu] korporasi sudah untung," ucapnya.
BEA KELUAR
Sebelumnya, mantan Sekretaris Jenderal Gapki Kanya Lakshmi Sidarta mengatakan secara singkat pihaknya mendorong usaha hilirisasi industri CPO. Namun demikian, Gapki meminta agar pemerintah mengkaji nilai bea keluar ekspor CPO dan olahan CPO agar nilai bea keluar yang ditetapkan lebih sesuai.
Selain itu, Kanya menyarankan agar pemerintah mengkaji ulang pengelolaan dana pungutan ekspor CPO. Seperti diketahui, dana pungutan ekspor CPO sebagian besar digunakan untuk menyubsidi selisih antara solar dan biosolar dalam mendukung industri fatty acid methyl ether (FAME) nasional.
"Kami ingin supaya gap [selisih solar dan biosolar] itu tolong disubsidi lebih lanjut dari anggaran negara," ucapnya. Pasalnya, penurunan volume ekspor pada 8 bulan pertama 2020 itu tertekan dampak oleh pandemi Covid-19 dan kenaikan harga CPO. Sementara itu, harga solar di pasar global cenderung tidak berubah.
Seperti diketahui, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 87/2020 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar membuat bea keluar CPO per November 2020 naik US$13,5. Dengan kata lain, bea keluar CPO saat ini menjadi US$782,03 per metrik ton.
Kanya menilai beleid tersebut merupakan hal yang dilematis. Pasalnya, pelaku industri mendorong hilirisasi di dalam negeri, tapi pabrikan CPO telah memiliki perjanjian dagang dengan pelaku industri di negara tujuan ekspor.
"Kalau kami ibaratnya mau menggenjot semua [hilirisasi] di dalam negeri, nanti dunia marah karena dunia sudah melakukan investasi untuk membeli produk-produk [lokal]," ujarnya.
Berdasarkan catatan Gapki, volume ekspor CPO pada Januari-Agustus 2020 merosot 11 persen secara tahunan menjadi 21,3 juta ton. Adapun, penurunan tersebut didorong oleh lesunya permintaan produk olahan CPO mencapai 16,1 persen menjadi 12,8 juta ton.