Bisnis.com, JAKARTA - Perubahan Presiden Amerika Serikat dari Donald Trump ke Joe Biden belum tentu menguntungkan Indonesia.
Meski dari Partai Republik yang mendorong pasar bebas, pemerintahan Trump terkenal sangat Amerika Sentris dan proteksionis.Terpilihnya Biden diprediksi tak banyak mengubah kondisi global yang saat ini sedang berjibaku dengan pandemi. Kebijakan proteksionis diperkirakan tetap berlangsung.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah harus meningkatkan kewaspadaan akibat perubahan kekuasaan di Amerika Serikat. Terpilihnya Biden tidak akan serta merta membawa banyak keuntungan dibandingkan saat Trump berkuasa.
Terutama menilik janji Biden saat kampanye, politisi gaek Partai Demokrat AS itu justru akan melakukan penegasan kembali komitmen AS dalam perjanjian iklim Paris.
Dengan kondisi ekonomi yang belum stabil maka untuk melindungi ekonomi AS, Biden tidak lagi menggunakan tarif sebagaimana Trump saat ini. Biden akan cenderung tetapi memakai instrumen non tarif, misalnya menggunakan isu-isu terkait lingkungan.
"Kalau ini dilakukan bisa jadi tidak menguntungkan Indonesia. Kita bisa belajar dari pengalaman [penolakan produk] sawit di Eropa," kata Bhima dalam sebuah diskusi virtual, Jumat (20/11/2020).
Baca Juga
Bhima menyebut bahwa ketergantungan Indonesia dengan AS cukup besar, meskipun tak sebesar China. Dia mencontohkan ekspor Indonesia ke AS didominasi oleh komoditas yang berkaitan langsung dengan isu lingkungan seperti pakaian jadi atau baju, furniture kayu, dan perikanan.
"Jadi ekspor ke AS juga bisa diperiksa memeriksa apakah komoditas yang ekspor tersebut merusak lingkungan atau tidak," imbuhnya.
Selain itu pelaksanaan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja juga bisa menjadi hambatan hubungan ekonomi AS - Indonesia. Apalagi investor negara maju kompak menolak UU Ciptaker. Persoalan yang paling disorot oleh para investor tentu lagi-lagi soal lingkungan.
"UU Ciptaker ini juga menjadi pertanyaan [investor]," jelasnya.